banner 728x250
Opini  

Geotermal: Kapitalisasi Agraria dan Kesejahteraan Masyarakat

Balduinus Ventura (Ketua Lembaga Advokasi Hukum dan HAM PP PMKRI)

RUBRIKA – Penetapan Pulau Flores sebagai pulau panas bumi yang ditetapkan melalui keputusan menteri ESDM nomor 2268 K/30/MEM/2017, secara kontekstual merupakan pembenaran legalistik-formal semata untuk melancarkan eksploitasi berkedok Investasi.

Pasalnya implikasi dari keputusan tersebut justru mengganggu keberadaan dan kenyamanan masyarakat yang menghuni daerah ini selama bertahun-tahun.

banner 336x280

Proyek geothermal yang lazim disebut proyek panas bumi ini sampai hari ini menimbulkan tanda tanya dikalangan masyarakat karena urgensitas dan manfaatnya dianggap sebagai perwujudan dari birahi penguasa dan pengusaha untuk melanggengkan kepentingan akumulasi capitalnya dengan mengatasnamakan kepentingan masyarakat.

Dalil yang dipake pemerintah sebagai penghasil energi listrik (penerangan) sekedar desepsi demi mengeruk kekayaan alam yang ada.

Hal itu dibuktikan dengan massifnya eksplorasi panas bumi yang terjadi di beberapa titik di Pulau Flores mengalami resistensi/perlawanan dari masyarakat.

Perlawanan itu tidak hanya reaksi spontanitas penolakan melainkan sebagai bentuk penghormatan terhadap alam, nilai, tradisi dan mata pencarian masyarakat sebagai makluk agraris.

Historisitas ekonomi, telah tercatat dalam sejarah panjang masyarakat bahwa untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya cukup dengan menjaga alam dan tanahnya.

M. Arief Pranoto dan Hendrajit, dalam bukunya “Perang Asimetris & Skema Penjajahan Gaya Baru“ pernah menyatakan bahwa kebijakan pembangunan yang berbasis pada ideologi pembangunanisme (Developmentalism) hanya berorientasi pada kepentingan pasar (capital) dengan mengatasnamakan pembangunan tanpa memperhatikan kebutuhan dan aspek keadilan secara komprehensif dan imparsial yang ada dimasyarakat.

Padahal pada tataran ideal dan konstitusional, kebijakan pemerintah seharusnya perlu diperketat melalui system yang tepat sehingga bermuara pada kepentingan publik.

Mengapa perlu system? Pasca kemenangan kapitalisme diera perang dingin, dunia telah dikepung oleh pembangunan ekonomi yang berbasis liberalistik.

Dalam system ini, peran negara atau pemerintah semakin diperkecil akibat dominasi capital.

Para pemodal dengan gampang menguasai system ekonomi suatu negara sehingga pembangunan dalam bentuk apapun hanya menguntungkan mereka yang berinvestasi.

Pada sistem ini juga, rakyat hanyalah objek eksplotasi dan investasi bagi para pemodal sehingga ketimpangan ekonomi semakin massif dan meluas.

Orang kaya semakin kaya sementara kemiskinan semakin merajalela dan tak terurus.

Pembangunan proyek geotermal kita bisa melihat bahwa hulu dari persoalan ini lahir dari kapitalisasi agraria, yang menyebabkan tanah diambil alih dan dikuasai oleh yang punya modal untuk mengembangkan kepentingan akumulasinya dengan mengorbankan rakyat kecil.

Kapitalisasi Agraria dan Peran Pemerintah

Dalam definisi sederhana, kapitalisasi agraria dapat diartikan sebagai upaya mengambil alih lahan/tanah dengan kekuatan modal untuk kepentingan investasi tak terkecuali untuk pembangunan geotermal.

Dalam realitanya, proses kapitalisasi lahan selalu berujung konflik baik horizontal maupun vertical karena pada dasarnya proses kapitalisasi ini lahir dari kebijakan sepihak penguasa dengan kolega gelapnya (pengusaha) dengan mengatasnamakan kepentingan publik.

System kapitalisme pada prinsipnya memiliki watak kekerasan. konsekuensi logisnya dalam mengimplementasikan kebijakan yang dituntun oleh logika kapitalistik, baik terhadap tanah masyarakat adat terkesan diambil paksa bahkan menghalalkan segala cara, lagi-lagi karena perintah modal. 

Rakyat kecil sering sekali menjadi korban, diintimidasi, digilas haknya demi mengeruk kekayaan alamnya untuk kepentingan akumulasi.

Monopoli dan eksploitasi terhadap lahan masyarakat adat sebagai ekspresi kebuasan para kapitalis untuk menumpuk dan memperbanyak kekayannya.

Mereka tidak peduli bagaimana rakyat menangis histeris, sekaligus memprotes atas lahan mereka yang dirampas paksa atas nama pembangunan.

Hal itulah yang meyakinkan publik bahwa kehadiran geothermal hanyalah bentuk baru dari invasi ekonomi dibawa kendali pasar.

Oleh karena itu, Agraria sebagai objek penghisapan para borjuasi pertambangan seharusnya perlu adanya kehadiran dan keberpihakan pemerintah untuk mengatur dan membuat system (peraturan) yang berkeadilan sebelum menjadikan suatu daerah sebagai daerah panas bumi yang siap dieksplorasi dan dieksploitasi.

Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Secara filosofis dan historis, pasal diatas sebagai bentuk konkritisasi dan jalan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pemerintah sebaiknya harus berani bersikap dan berpendiriaan sesuai dengan dengut jantung kerakyatan dan kebutuhan rakyat dengan membangun system/regulasi yang proporsional dan berkeadilan baik yang berhubungan dengan sumber daya manusia (SDM) masyarakat setempat terkait pertambangan (geothermal), Jaminan kesejahteraan sosial dan ekonomis masyarakat jangka panjang, serta jaminan keselamatan manusia dan lingkungan setempat.

Sehingga kehadiran geothermal bisa melawan dan menghapus pemiskinan, pembodohan dan perbudakan structural yang terjadi bertahun-tahun dan dapat mewujudkan masyarakat sejahtera dan berkeadilan. (***)

Opini oleh: Balduinus Ventura (Ketua Lembaga Advokasi Hukum dan HAM PP PMKRI)

banner 336x280