banner 728x250
Opini  

Bantengan! Dari Corak Totemis, Pro Kontra Sampai Adakah Kaitannya dengan Politik?

Kesenian Bantengan. (Foto: Muhammad Mada/Ist)

Opini oleh: Nina Dwitya Febriyanti, S.Pd, M. Sos

RUBRIKA – Tari Merak, Cendrawasih, Kidang Alit, Kuntulan, Kupu-kupu, dan Macanan adalah nama-nama tari yang cukup dikenal oleh masyarakat.

banner 336x280

Melihat judul tari yang diambil dari nama-nama hewan, tari-tari tersebut adalah tari yang menirukan gerak-gerik atau segala tingkah laku hewan. Dalam aliran seni tari, jenis tari ini dinamakan tari totemis.

Beberapa daerah di Indonesia telah mengembangkan kreasi seni tari totemisnya sendiri sesuai dengan hewan yang menyimbolkan bagian penting dari kebudayaannya.

Pengertian Tari Totemis

Tari adalah gerakan tubuh dengan penuh penghayatan jiwa dan diiringi oleh alunan ritme musik. Biasanya dalam tarian tradisional Jawa, alunan musik tari adalah dari seperangkat gamelan.

Sedangkan pengertian dari totemis atau totemisme adalah kompleks dari beragam ide dan cara berperilaku berdasarkan pandangan dunia yang diambil dari alam.

Ada hubungan ideologis, mistik, emosional, hormat, dan silsilah kelompok sosial atau orang tertentu dengan binatang atau benda alam, yang disebut totem.

Jadi, tari totemis adalah tari yang gerakannya meniru unsur di luar manusia, seperti hewan, tumbuhan atau gejala alam lainnya.

Tari-tari totemis di Indonesia banyak dan merupakan bagian dari tari yang bersifat tradisional (dapat juga dikembangkan dengan kreasi modern).

Hal ini menandakan bahwa hewan termasuk bagian penting dalam perjalanan hidup dan budaya manusia Indonesia. 

Fungsi dan Tujuan Tari Totemis

Terdapat beberapa fungsi penciptaan sebuah tarian dalam kehidupan budaya manusia. Tari dapat sebagai sarana ritual upacara tradisional, seni pertunjukan, media pendidikan yang mengandung makna filosofis atau sekedar sebagai penghiburan semata.

Semua hal tersebut tergantung pada maksud tujuan si pencipta dan respon dari penikmat tari. Dalam konteks tari totemis, hubungan pengimitasian gerakan hewan ini mempunyai tujuan tertentu.

Beberapa tujuan penyatuan mistis antara manusia dan hewan dalam tari ini adalah seperti untuk ritual perburuan (agar mendapat banyak hewan buruan), sarana pemanggilan hujan (mungkin dilakukan saat musim kemarau panjang), pemanggilan matahari (mungkin juga saat musim penghujan yang tak kunjung reda) sehingga kedua musim ini mengganggu siklus pertanian, untuk kesuburan hewan ternak (gerakan tari bercinta hewan agar beranak banyak) dan kekaguman juga sekaligus pemujaan terhadap hewan tertentu yang diperagakan dalam tari.

Banyak tujuan dari tari totemis ini namun yang terpenting terdapat suatu kedekatan hubungan seperti kekeluargaan (atau menganggap yang lebih dulu ada di alam) yang dipercaya oleh manusia terhadap totem-totem tersebut. 

Makna Tari Totemis

Ragam gerak tari totemis yang meniru segala tingkah laku hewan itu adalah bentuk kreasi manusia yang dipresentasikan untuk kekaguman dan penghormatan sekaligus ketundukan mereka pada alam semesta dan isinya.

Karena mereka menganggap bahwa alam semesta adalah tetua dan lebih dulu ada sebelum mereka. Hal ini dapat disebut sebagai tindakan pelestarian alam yang diwujudkan dalam bentuk kesenian. 

Bantengan 

Dari banyaknya tari totemis tradisional yang terkenal di Indonesia, penulis ingin mengulas tentang salah satu taribercorak totemis yang berasal dari Jawa Timur yaitu Kesenian Bantengan.

Walaupun penulis ragu menyatakan kesenian ini adalah termasuk dalam aliran tari totemis murni karena seluruh gerakan tarinya tidak mempresentasikan penuh gerakan hewan yang disimbolkan melainkan dipadu dan didominasi dengan gerakan pencak silat.

Mungkin lebih tepatnya, penulis menganggap bahwa kenian Bantengan ini memiliki corak totemis dengan adanya penggunaan replica Banteng dengan gerakan khas amukannya. 

Namun bagaimanapun Bantengan dengan segala pro dan kontranya termasuk bagian dari seni tari tradisional yang karena keunikan dari gerak keperkasaannya banyak digemari oleh masyarakat Indonesia khususnya Jawa Timur. Dengan penonton dari semua kalangan mulai dari anak-anak, dewasa sampai kaum lanjut usia.

Sejarah dan Perkembangan

Bantengan adalah seni pertunjukan budaya gabungan dari seni tari, seni kanuragan, seni musik, syair/mantra yang kental dengan unsur magis. Kesenian ini awal berkembang di daerah Batu, Malang dan Mojokerto. 

Diperkirakan telah ada sejak tahun 1800-an, tradisi ini berawal dari zaman Kerajaan Singasari. Keberadaannya sejak zaman kerajaan telah dipahatkan dalam kisah dari relief Candi Jago yang menampilkan banteng melawan harimau.

Ditelusur dari asal usul kesenian ini berawal dari kesenian Kebo-keboan Ponorogan (Ponorogo). Seni Kebo-keboan dimaknai sebagai tolak bala dan penyelamat Raja Surakarta Paku Buwana II dari berbagai serangan pemberontak keraton.

Terinspirasi dari hal tersebut lahirlah ide hewan Banteng yang keberadaannya sudah mulai punah. Penciptanya adalah para pegiat silat dari Batu, Malang dan Mojokerto sekaligus bertujuan untuk mengundang minat masyarakat berlatih seni bela diri asli Nusantara yaitu pencak silat. 

Kini selain daerah awal perkembangan seperti Batu, Malang dan Mojokerto, Bantengan juga merambah ke daerah Jombang, Kediri, Pasuruan dan Lumajang.

Kesenian inibanyak dikembangkan oleh masyarakat desa atau masyarakat lereng pegunungan Jawa Timur seperti Gunung Bromo, Semeru, Arjuno, Welirang, Anjasmoro, Kawi, Raung dan Argopuro.

Masyarakat kawasan seperti ini umumnya masih kental dengan budaya-budaya yang bernuansa mistis-magis. Kentalnya unsur-unsur demikian biasanya berkaitan dengan tolak bala atau tujuan yang bermaksud kemakmuran. 

Baca Juga:   Geotermal: Kapitalisasi Agraria dan Kesejahteraan Masyarakat

Ragam Aksesori

Berbagai ragam aksesori yang digunakan dalam Kesenian Bantengan yaitu seperti Kepala banteng yang terbuat dari kayu. Kepala banteng ini dilengkapi dengan tanduk dari hewan asli yaitu Kerbau atau Banteng.

Tanduk pada Bantengan sebelummnya masih menyerupai tanduk Kerbau pada Kesenian Kebo-keboan-Ponorogo. Seiring berjalannya waktu sudah menggunakan tanduk Banteng.

Namun berhubung Banteng keberadaannya semakin langka maka yang lebih banyak digunakan adalah dari kayu atau tanduk sapi dan kerbau yang sudah mati.

Mahkota Bantengan (dari bahan kulit atau kertas); Klontong (alat bunyi yang dikalungkan di leher); Keranjang penjalin yang merupakan kain hitam digunakan sebagai badan penyambung kepala dan kaki belakang); Gongseng untuk bunyi-bunyian kemrincing di kaki dan tali kendali Banteng

Sedangkan perangkat pertunjukan atau Gebyak Bantengan terdiri dari Pendekar pengendali kepala bantenganyang memegang tali tampar (dua orang).

Beberapa pemain alat music seperti Jidor dan seperangkat gamelan (kendang, ketipung, peking, saron, demung, gong, kempul, kenong) lengkap dengan pengerawit dan sinden.

Sesepuh yaitu tetua yang memiliki keahlian dalam memanggil dan memulangkan roh leluhur; Pamong dan pendekar pemimpin yang memegang kendali kelompok dengan membawa kendali yaitu Pecut (Cemeti/Cambuk); Macanan dan Monyetan sebagai peran pengganggu Bantengan agar mengamuk.

Tahapan Ritual

Pergelaran merupakan tontonan yang dibangun atas ketidakbiasaan, berada dititik ambang batas, yakni menyaksikan hal-hal yang tidak ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Waktu, ruang, suara, cahaya, gerak, ucapan dan benda juga turut membentuk ketidakbiasaan ini.

Tontonan ini kemudian memiliki beberapa syarat: pertama, merupakan kegiatan yang memiliki kehendak untuk mempertontonkan sesuatu.

Kedua, adanya hal tidak biasa yang menjadi daya tarik. Kedua syarat sebelumnya melahirkan syarat ketiga, yakni mempertontonkan sesuatu sehingga penonton atau masyarakat mengalami hal yang tidak biasa. Adapun seni pertunjukan Jaran Kepang ini merupakan sebuah tontonan yang telah memuat ciri pembentuk dari ketidakbiasaan.

Hal ini ditunjukkan manakala dalam seni pertunjukan seperti Jaran Kepang maupun Bantengan (hiburan kesenian tradisional yang cukup populer di Malang) terkandung unsur-unsur yang tidak biasa terjadi dikehidupan manusia. Hal tidak biasa tersebut seperti adanya atraksi kesurupan. (Radhia, 2017)

Seperti penjelasan diatas mengenai syarat sebuah pertunjukan atau pagelaran maka Bantengan pun mempunyai tahapan dalam pemetasannya. Urutan pementasan itu pada umumnya terdiri dari tiga tahap yaitu :

1. Ritual Nyuguh atau Sandingan. Ini berupa peberian sesaji/sesajen berupa kelapa, pisang, ketan, nasi kabuli, rokok, susur, bedak, telur ayam kampung, kembang boreh, kaca, dan uang.

2. Pementasan (Karak’an, dimulainya pertunjukan sampai dengan kesurupan atau ndadi).

3. Nyuwuk (memulangkan arwah leluhur yang dipanggil sebelumnya untuk kembali ke tempat asal).

Kelengkapan persyaratan untuk tahapan-tahapan tersebut harus dipersiapkan sebelumnya mulai kostum, iringan music dan sesaji agar pertunukan lancar dari awal hingga akhir.

​Mengenai tahapan-tahapan ritual ini ada beberapa perbedaan pada komunitas Bantengan seperti Komunitas Rogo Wilis-Malang.

Komunitas ini tidak menerapkan ritualsesajen, penyembahan roh atau ritual-ritual lain yang umumnya masih dilakukan oleh komunitas Bantengan lainnya.

Mereka hanya menghaturkan doa  kepada Sang Pencipta dan melakukan kunjungan ke tempat-tempat para leluhur untuk doa bersama serta perjalanan religi. 

Seperti keterangan yang ditulis oleh Devitra Azzahra dalam Bestari-Koran Kampus UMM dalam artikel yang berjudul Keindahan dan Histori Budaya Bernuansa Magis bahwa setiap daerah maupun komunitas memiliki tradisi tersendiri yang dilakukan setiap bulan maupun tahun.

Setiap Kamis Kliwon, malam Jum’at Legi komunitas itu menggelar acara doa bersama. Kegiatan tersebut dilakukan dengan tahlil dan yasin. Selain itu, penyajian sesajen umumnya seperti bunga telon wangi, dan kopi hitam dicampur gula (cawisan) tanpa diaduk. 

Adapun tradisi bantengan terdapat aturan yang tidak boleh dilanggar yaitu molimo. Molimo merupakan singkatan dari moh limo (moh=tidak mau, limo=lima) yang memiliki arti ada lima aturan yang tidak boleh dilanggar yakni moh main (tidak mau main), moh ngombe (tidak mau minum-minuman keras), moh maling (tidak mau mencuri), moh madat (tidak mau menggunakan candu seperti narkoba), dan moh madon (tidak mau bermain perempuan).

Aturan ini dibuat oleh salah satu wali songo yaitu Sunan Ampel yang bertujuan untuk memperbaiki akhlak manusia yang suka menyimpang dari ajaran-ajaran agama dan yang tidak memiliki pendirian.

Aturan Molimo ini juga diterapkan dalam komunitas Bantengan Rogo Wilis-Malang dan bagi anggota yang melanggar akan mendapat sanksi.

Ragam Gerak dan Filosofi

Kesenian ini biasanya dimainkan oleh dua orang(biasanya laki-laki) berbagi tugas menjadi pengendali bagian depan dan bagian belakang. Peran bagian depan sebagai pemegang kepala dan pengontrol tari Bantengan.

Sedangkan bagian belakang sebagai ekor Bantengan. Bagian depan sebagai kepala akan mengalami kesurupan terlebih dahulu kemudian diikuti bagian belakang akan mengalami hal serupa.

Sepanjang pemetasannya, tarian ini diiringi alunan music Jawa khas Bantengan yang didominasi gaung tabuhan jidor dan gong.

Bantengan mengalami kesurupan karena dipicu irengan (laki-laki yang mengenakan pakaian serba hitam) atau abangan (laki-laki yang mengenakan pakaian serba merah).

Selain itu, Bantengan juga kerap kali diiringi Macanan (biasanya diperankan seorang laki-laki yang memakai kostum kain berwarna kuning belang oranye). Peran Macanan ini membantu Bantengan kesurupan serta menahannya apabila kesurupan dinilai terlalu brutal.

Baca Juga:   Membangun Pariwisata Terintegrasi di Kabupaten Toba

Kesenian ini juga memperlihatkan kekuatan para pemain Bantengan yang dipecut dengan tali cemeti/cambuk dan menggigit properti-properti kepala Bantengan yang terbuat dari bahan keras seperti kayu atau tanduk asli namun mereka tidak mengalami luka sedikitpun

Makna filosofis Bantengan sendiri mengisahkan tentang perlawanan terhadap keburukan dan angkara murka yang diperankan dalam sosok binatang.

Setiap binatang memiliki lambang dan arti yang berbeda-beda. Bantengan menggambarkan pertarungan antara banteng melawan musuh-musuhnya, yaitu macan dan monyet (sebagai tokoh provokator yang licik dan selalu mencari kesempatan dalam kesempitan).

Pada akhirnya, kisah pertarungan dimenangkan oleh Banteng perlambang kebaikan (kekuatan, keadilan, sekaligus melambangkan kemakmuran) yang dapat mengalahkan keburukan atau kejahatan (macan dan monyet).

Mengenai makna filosofinya yang lebih luas dan relevan dengan kehidupan sosial masyarakat dijelaskan dalam tulisan Muhammad Nashichuddin Dkk (2018) yang menyatakan bahwa “Kesenian Tradisional Bantengan merupakan kesenian komunal yang melibatkan banyak orang dalam setiap pertunjukannya, seperti halnya sifat kehidupan banteng yang hidup berkelompok (koloni).

Kebudayaan Bantengan ini membentuk perilaku masyarakat yang menggelutinya untuk selalu hidup dalam keguyuban, gotong royong, dan menjunjung tinggi rasa persatuan dan kesatuan”.

Begitu juga menurut Ruri Darma Desprianto dalamtulisannya mengenai Kesenian Bantengan Mojokerto, Kajian Simbolik dan Nilai Moral (2013) menjelaskan bahwa “Banyak nilai yang terkandung dalam Kesenian Tradisional Bantengan.

Nilai tersebut meliputi nilai kebersamaan atau gotong royong, nilai keindahan, nilai kebenaran, nilai kebaikan, nilai tanggung jawab, nilai religius, nilai kepercayaan, serta nilai keburukan dan kejahatan. Berdasarkan hasil pementasan Kesenian Tradisional Bantengan baik ketika di panggung maupun saat arak-arakan ditemukan adanya nilai-nilai moral yang bermanfaat bagi kebudayaan”.

Trance (Kesurupan/Kalapan/Ndadi) dan Pro Kontranya

Kesurupan adalah kemasukan setan atau roh, orang yang kemasukan roh maka tidak sadar lagi. Hal ini mengalami keadaan di luar kesadaran manusia kemudian tidak ingat apa-apa, seperti halnya penari jaranan yang mengalami kesurupan atau kesurupan akan melakukan gerakan di luar kesadarannya, karena telah dikuasai oleh roh yang masuk ke dalam tubuh penari melalui pawang.

Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, kesurupan merupakan sesuatu yang dilandasi dengan adanya masuknya roh dalam diri seseorang disamping itu juga diperlukan sesaji yang merupakan suatu cara untuk memanggil roh untuk datang melalui barang atau benda. (Agung & Soetopo, 2019)

Keunikan pada kesenian Bantengan terletak pada ketegangan saat para pemain Bantengan mengalami peristiwakesurupan/kalapan/ndadi.

Pada awalnya pemain bagian depan yang memegangi kepala banteng akan dirasuki oleh arwah leluhur kemudian para pemain lainnya juga akan mengalami kerasukan.

Kesurupan ini bisa terjadi jika para pemeran pertunjukan begitu menjiwai peran mereka. Kesurupan yang terjadi membuat para pemeran pertunjukan lebih susah untuk dikendalikan karena dalam tubuh mereka bukan diri mereka sendiri. Pada tahap ini biasanya mereka bersikap lebih sensitif dan agresif sehingga sulit untuk dikendalikan. 

Penonton yang dianggap melakukan kesalahan (seperti berkata kasar atau bersiul) akan memancing amarah si banteng hingga bisa dikejar dan menjadi sasaran amukannya.

Hal seperti inilah yang selalu mengundang perhatian danmerupakan atraksi yang paling ditunggu-tunggu masyarakat. Kericuhan dan perkelahian juga dapat terjadi disebabkan karena Bantengan kerap kali dibenturkan kepada penonton.

Masyarakat dengan latar belakang pendidikan modern akan menganggap kesenian ini adalah sesuatu yang tidak masuk akal, diluar nalar, tidak mendidik dam membahayakan.

Sedangkan masyarakat yang berlatar belakang agamis (muslim) memandang bahwa Bantengan mengandung unsur kesyirikan dan di luar ajaran agama karena berkaitan dengan magis seperti pemanggilan arwah leluhur, kerasukan roh-roh, bertingkah laku di luar kendali seperti hewan dan kelakuan ekstrem lainnya.

Ditambah lagi jika para pemain Bantengan jika sudah kalap maka kadang-kadang dapat melakukan tindakan yang membahayakan para penonton (yang disana bukan hanya orang dewasa tapi juga anak-anak) seperti mengejar atau mungkin memukul.

Beberapa kontroversiinilah yang menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat. Namun sebagian besar masyarakat memang menganggap Bantengan hanyalah sebuah kesenian dan hiburan semata. Sebagai bentuk apresiasi masyarakat terhadap pelestarian budaya lokal.

Nilai Positif dalam Berbagai Aspek

Tidak hanya dilihat mengandung beberapa sisi negative, jika ditelisik Kesenian Bantengan juga memiliki nilai positif dalam berbagai aspek. Pada aspek Sosial yaitu memiliki nilaiintegrasi atau persatuan.

Kesenian Bantengan ini bertujuan untuk mengumpulkan dan mempersatukan semua kalangan terutama anak-anak muda agar tidak terjerumus pergaulan bebas yang negatif.

Bantengan juga mempersatukan masyarakat yang berjiwa seni untuk bergabung mengikuti komunitas kesenian Bantengan sehingga antar komunitas di satu daerah atau antar daerah saling mengenal dan menambah persaudaraan. Filosofi Bantengan sendiri ini sesuai dengan sila ke-3 Pancasila yaitu Persatuan Indonesia. 

Ditelisik dari segi ekonomi, acara bantengan dapatmembantu perekonomian Masyarakat terutama pedagang kecil karena jika ada acara besar atau kecil maka banyak pedagang yang berjualan (biasanya jajanan atau mainan anak) sehingga masyarakat yang melihat bantengan bisa sambil menikmati dagangan yang dijajakan.

Dilihat dari segi kesehatan, Bantengan menampilkan gerakan pencak silat yang bisa dijadikan sebagai olahraga. Sekaligus sebagai daya tarik minat masyarakat terutama generasi muda untuk mengenal dan menggeluti olahraga aslibela diri Indonesia yaitu pencak silat.

Baca Juga:   Food Estate Papua: Otoritarianisme Agraria, Deforestasi, dan Gastro Kolonialisme

Dari aspek budaya tentu saja di zaman modern inikebudayaan lokal semakin lama semakin tergerus dan lunturkarena adanya pengaruh gadget dan kebudayaan luar yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia.

Anak-anak muda juga banyak melakukan tindakan-tindakan amoral dan melupakan budaya yang ada. Hal ini akan mengakibatkan kepunahan budaya local terpampang jelas di depan mata.

Kepunahan budaya local juga akan diikuti oleh lenyapnya jati diri dan identitas sebagai bangsa Indonesia sehingga ke-Indonesiaan akan lebih mudah diinvasi oleh pihak luar.

Dengan adanya Bantengan ini, generasi muda diajak untuk bisa melestarikan budaya lokal dan memperkuat identitas sebagi bangsa Indonesia.

Bantengan dan Adakah Kaitannya dengan Politik?

Beberapa selentingan pernah didengar penulis bahwa lahirnya kesenian Bantengan ini ada kaitannya dengan sebuah partai politik besar yang mempunyai logo yang sama dengan nama seni pertunjukan ini.

Hal ini mungkin berkembang karena keawaman masyarakat mengenai informasi tentang seni Bantengan yang notabene telah lahir sangat jauh sebelum hiruk pikuk perpartaian politik di Indonesia.

Bahkan disebutkan kelahirannya sejak zaman kerajaan Singasari dan pada Kerajaan Majapahit pun pemahatan relief Candi Jago menggambarkan pertarungan antara dua binatang tangguh yaitu Banteng dan Macan.

Atau mungkin sentimen ini terhembus dari anggapan yang tidak berdasar kaum kontra seni Bantengan yang menghubungkannya dengan dijadikan alat politik sebuah partai untuk menarik massa. 

Anggapan dari selentingan kecil di masyarakat ini dapat dikategorikan dalam Teori Representasi yang dimana kesenian dianggap sebagai media perantara untuk merepresentasikan sebuah ideologi politik, mengkomunikasikan pesan di dalamnya dan membentuk opini publik.

Secara garis besar teori representasi adalah  kerangka konseptual yang digunakan dalam  memahami bagaimana makna dan pemahaman  tentang budaya di dunia.

Makna dan pemahaman ini dihasilkan,  dikomunikasikan, dan dipertahankan dalam  bentuk simbol, gambar, atau tanda. Dengan kata  lain, representasi yang diciptakan dapat membentuk suatu presepsi, identitas, dan hubungan sosial.

Dengan begitu, representasi memiliki  tempat  yang  cukup  krusial  dalam  studi  budaya. “Representation  connects meaning and language to culture” (Stuart, Hall. 1997). (EDUCATION- VOLUME 3, NO. 2, JULI 2023).

Jadi, menurut hemat penulis anggapan masyarakat itu bahwa kesenian Bantengan itu diciptakan untuk kepentingan sebuah partai politik (yang berlambang sama dengan Bantengan) untuk merepresentasikan posisinya sebagai partai wong cilik yang menjadi tumpuan harapan rakyat kecil.

Dilihat dari lambangnya pun Banteng adalah termasuk alat produksi utama  bagi rakyat kecil terutama para petani.

Dan setelah ditelisik sejarahnya seperti diulas diatas tentu saja hal itu tidak benar. Kesenian Bantengan ini tidak lahir dari kreasi, karya atau ciptaan dari sebuah partai politik yang untuk kepentingan politik demi menarik massa.

Dari perkembangan tariannya pun, seni pertunjukan Bantengan ini tidak ada cawe-cawe atau turut andil dari partai politik manapun. Jadi tidak dibenarkan mengaitkan kelahiran dan perkembangan seni Bantengan ini dengan kepentingan suatu partai politik. 

Bantengan yang sering ditampilkan dalam berbagai acara hiburan seperti bersih desa, acara khitanan dan pernikahan hingga festival kesenian kini juga diundang dalam perhelatan beberapa acara yang mengandung unsur politik entah itu pencalonan jabatan politik atau momen pesta politik besar seperti menjelang pemilu.

Hal ini dianggap bahwa Bantengans elain dapat menghibur massa juga menarik suara massa untuk condong pada yang mengundang. Seperti pada Berita Kompas tertanggal 29 januari 2024 yang berjudul 1.000 Kelompok Bantengan dan 50.000 Pendukung Siap Hadiri Kampanye Akbar Ganjar di Malang.

Sekretaris DPD PDI-P Jatim Sri Untari mengatakan “untuk menunjukkan penghargaan Ganjar terhadap kesenian tradisi yang menjadi bagian dari jati diri arek-arek Malang, kegiatan kampanye akbar akan diikuti 1.000 kelompok bantengan. 1.000 kelompok bantengan yang akan mberot (memberontak) bersama Ganjar.

Ada juga kelompok kesenian bantengan dengan angka 333 yang diharapkan sebagai simbol capres nomor 3 bisa menang tebal di Malang Raya.

“Mberot dalam bahasa Malangan berarti unjuk perlawanan. Bantengan mberot berarti seniman bantengan ingin menunjukkan perlawanan terhadap rusaknya tatanan demokrasi, rusaknya tatanan etika politik,”.

Hal ini menurut hemat penulis sejalan dengan Teori Aktivisme Seni yang dimana kesenian dapat dilihat sebagai bentuk aktivisme politik yang dapatmemobilisasi masyarakat dan mendukung gerakan sosial.

Studi fenomenologis ini menyoroti kemampuan aktivis artistik untuk memanfaatkan seni demi perubahan politik, kreatif, dan sosial.

Aktivisme artistik adalah alat yang dapat digunakan untuk memobilisasi orang-orang dari berbagai latar belakang untuk mencapai tujuan atau menantang ketidakadilan (Mouffe, 2007). (Hanson, Julio, “Kekuatan aktivisme artistik” (2020). Tesis dan Disertasi ). Namun hal ini tidak dapat dikatakan bahwa Seni Bantengan adalah alat politik dari partai tersebut.

Bagaimanapun pro kontra dan macam isu apapun yang berkembang di masyarakat, kesenian ini harus terus hidup dan dilestarikan sebagai peninggalan budaya dengan makna filosofi yang dalam.

Selain menghidupkan filosofi dari semangat Bantengan tersebut juga menghidupi banyaknya para pekerja seni yang berkecimpung totalitas dalam kesenian bercorak totemis ini. (***)

*Dirangkum dari Berbagai Sumber

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *