banner 728x90
Opini  

Putusan MKMK Ditengah Krisisnya Legitimasi Mahkamah Konstitusi

Balduinus Ventura (Ketua Lembaga Advokasi Hukum dan HAM PP PMKRI).
banner 468x60

RUBRIKA – Publik baru saja dihebohkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi terkait batas minimal usia calon presiden dan wakil presiden.

Polemik batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) semakin memanas dengan diputusnya permohonan yang diajukan oleh Mahasiswa Universitas Surakarta Almas Tsaqibbirru dalam Perkara Nomor 90 /PUU-XXI/2023. 

banner 336x280

Dalam putusan tersebut, Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan yang menguji pasal 169 huruf q Undang –Undang nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Memuncaknya keheboan publik  pasca mahkama konstitusi secara terbuka mengabulkan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan, ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun’ bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.

Luapan dan amarah kritisisme dan perlawanan konstitusional dari akademisi, politisi dan masyarakat umumnya itu masif dan mencengangkan ketika publik menyoroti implikasi adik ipar dari Presiden Jokowi yang juga menjadi Ketua Hakim Konstitusi dalam memeriksa dan memutuskan gugatan terkait batas minimal usia capres/cawapres. 

Dugaan kuat bagi analis dan pemerhati konstitusi mempertanyakan kredibilitas dan independensi Mahkamah Konstitusi dalam menjaga marwah dan konstitusionalitas dari putusanya.

Pasalnya putusan tersebut, secara politis dianggap hasil dari negosiasi gelap antara penguasa dan mahkamah konstitusi untuk memuluskan anak presiden jokowi untuk menjadi kontestan (cawapres) dalam pemilihan presiden 2024. 

Bahkan secara formil, domain otoritatif mahkamah konstitusi hanya menguji apa yang dilarang dan bertentangan dengan konstitusi, artinya dalam konteks pengujian batas usia minimal ataupun cawapres seharusnya dikembalikan ke pembuat undang-undang (open Legal Policy) baik DPR maupun pemerintah bukan ranahnya yudikatif.

Dalam aspek materil, publik tidak melihat urgensitas dan substansialitas pengujian perubahan batas usia minimal calon presiden atau wakil presiden kecuali untuk putra presiden yang hari ini sedang berkuasa.

Dengan kata lain, pembenaran atas keterlibatan anak muda sebagai subjek perubahan secara politik dalam perspektif timing, konteks dan momentum tak lain justru mendelegitimasi dan mendereputasi.

Mahkamah Konstitusi ditengah proses demokratisasi yang sedang berjalan. Dalam etika peradilan dan etika bernegara seharusnya Ketua Mahkamah Konstitusi, tidak menjadi bagian dari pemeriksa dan pemutus terkait gugatan tersebut demi menjaga integritas, kredibilitas dan akuntabilitas mahkamah.

Hal itu yang membuat para aktivis demokrasi dan para pakar tata negara melaporkan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh (9) sembilan hakim konstitusi kepada majelis kehormatan mahkamah konstitusi (MKMK).

Ketua Majelis Kehormatan (MKMK) Jimly Asshiddiqie yang didampingi Anggota MKMK Wahiduddin Adams dan Bintan R. Saragih, setelah memeriksa laporan tersebut dalam pengucapan bahwa Putusan MKMK Nomor 02/MKMK/L/11/2023 memutuskan memberhentikan hakim Konstitusi Anwar Usman dari jabatan Ketua MK (Hakim Terlapor) dan telah terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama prinsip ketakberpihakan, prinsip integritas, prinsip kecakapan dan kesetaraan, prinsip independensi dan prinsip kepantasan dan kesopanan.

Selanjutnya, MKMK memerintahkan wakil ketua MK dalam waktu 2×24 jam sejak putusan selesai diucapkan, memimpin penyelenggaraan pemilihan pimpinan yang baru sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 

Kemudian, Anwar Usman tidak berhak mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan MK sampai masa jabatannya berakhir. 

Anwar juga tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan.

Implikasi Putusan MKMK Terhadap Putusan Batas Minimal Usia Cawapres

Putusan majelis kehormatan mahkamah konstitusi (MKMK) dalam pemeriksaan etik terhadap Sembilan (9) hakim konstitusi yang memeriksa dan memutus perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas minimal usia cawapres dan capres terus menimbulkan sorotan dari masyarakat luas ditengah kegalauan terkait ujung dari proses etik dan konsekuensinya terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tentang batas usia minimal capres/cawapres.

Dalam perspektif ketatanegaraan, peradilan konstitusi dan peradilan etik berada diantara dua wilayah yang berbeda. 

Sependek dan sepanjang pengetahuan saya melihat bahwa proses pemeriksaan etik yang dilakukan oleh MKMK tak lain hanya mengadili pelanggaran etik dan sanksinya mengikat hakim konstitusi tidak diluar itu. 

Dengan definisi lain, tidak ada norma dalam konstitusi yang memberi ruang, fungsi dan kapasitas terhadap MKMK untuk membatalkan status putusan Nomor 90 /PUU-XXI/2023 kecuali oleh MK itu sendiri.

Doktrin dan norma dalam putusan mahkamah konstitusi yaitu Finall and Binding. Keberadaan mahkamah konstitusi sebagai pengadilan pertama dan terakhir artinya sesuatu yang sudah diputuskan dan dibacakan oleh mahkamah konstitusi, sejak itu pula menjadi hukum dan berlaku untuk semua (Erga Omnes).

Keberatan konstitusional atas putusan terkait usia minimal capres/cawapres hanya bisa gugur atau tidak bisa diberlakukan apabila ada pengujian/pemeriksaan ulang terhadap substansi putusan diwilayah Mahkamah Konstitusi.

Sifat hukum tidak bisa berlaku surut/ Non Retroaktif, ditengah proses pencalonan capres/cawapres dan berjalannya tahapan pemilu yang dilalui kontestan sampe hari ini, hampir tidak ada kemungkinan/cela hukum untuk membatalkan status Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres untuk digantikan oleh siapapan dengan alasan ada putusan yang baru yang membatalkan putusan Nomor 90 /PUU-XXI/2023 tentang batas minimal usia cawapres dan capres karena secara asas sangat jelas dan tegas, putusan baru hanya berlaku dipemilu berikut alias tahun 2029 mendatang.

Keabsahan/legaliatas capres ataupun cawapres yang sedang berkontestasi 2024, dalam perspektif hukum putusan mahkama konstitusi( MK) Nomor 90 /PUU-XXI/2023 dan putusan Majelis kehormatan mahkamah konstitusi ( MKMK) Nomor 02/MKMK/L/11/2023 tidak berpengaruh sedikitpun terkait proses pendaftaran, kampanye hingga keterpilihan di pemilihan presiden mendatang.

Mahkamah Konstitusi Perlu Ada Perbaikan Serius

Mahkamah konstitusi secara kelembagaan memiliki banyak problem/masalah yang mengelimuti tubuhnya sendiri terkhusus tiga tahun terakhir, mulai dari putusan omnibuslaw yang kontroversial, perppu ciptaker yang dimana putusannya menguatkan keyakinan publik bahwa MK tidak berpihak pada rakyat melainkan corong dari kekuasaan semata.

Adanya putusan MK yang telanjang dimata publik dan desakan serius terhadap MKMK beberapa hari terakhir membuat pertanyaan publik secara perlahan terjawab kalaupun tidak memuaskan dan parsial. 

Tetapi ini hanyalah trigger Agar masyarakat terus mengontrol dan menciumi kebusukan MK dalam mengawal konstitusi sehingga kelembagaan MK, tetap menjadi peneduh bagi rakyat, rumah bagi konstitusi dan tiang penegak supremasi rakyat.

Dalam mencegah terjadinya masifitas delegitamasi dan dereputasi bahkan pembangkangan konstitusional terhadap MK, ada beberapa hal yang menjadi catatan serius bagi pemerintah, DPR dan juga Mahkamah Konstitusi untuk perbaikan MK kedepan.

Pertama, ketua mahkamah Mahkamah Konstitusi (Anwar Usman) yang baru saja diberhentikan dari ketua Mahkamah Konstitusi sebaiknnya harus mengundurkan diri dari hakim konstitusi karena kepercayaan publik sudah tidak percaya lagi. 

Pada bagian lain, pemerintah dan DPR perlu mereposisi dan menggantikan hakim-hakim yang bermasalah, baik secara hukum maupun etik.

Adanya konflik kepentingan (keluarga) ini, seharusnya perlu diatur ketat oleh system dalam proses pengangkatan hakim konstitusi sehingga yang berkepentingan langsung ataupun tidak dalam proses pengujian gugatan di MK (nemo iudex in causa sua) tidak menimbulkan masalah, polemik dan kontroversial dan krisis kepercayaan publik.

Kedua, negara perlu mengatur batas waktu terkait pengujian Undang-Undang dimusim pemilu. Ditengah praktik peradilan dimusim pemilu yang cendrung berorientasi pragmatis baik untuk menjegal maupun meloloskan suatu kandidat tertentu. 

Sehingga Mahkamah Konstitusi tidak dianggap lembaga Kebelet kepentingan tertentu, sehingga para kontestan lahir dari proses yang matang dan fair, bukan lahir dari proses peradilan yang prematur.

Ketiga, Mahkamah konstitusi harus menjadi pengawal demokrasi. Diawal berdirinya dimaksudkan untuk membatalkan seluruh produk hukum sesat, inkonstitusional dan tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi.

Mahkamah konstitusi harus mengembalikan roh dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga harapan, cita-cita besar bernegara berpihak pada rakyat banyak sehingga keseimbangan trias politika tercermin pada putusan progresif Mahkamah Konstitusi.

Keempat, salah satu tugas mahkamah konstitusi adalah memeriksa, mengadili dan memutuskan sengketa pemilu baik pemilihan presiden dan wakil presiden maupun pemilihan kepala daerah. 

Dengan adanya proses pemeriksaan etik oleh majelis kehormatan mahkamah konstitusi (MKMK) terhadap Sembilan (9) hakim MK, publik berharap agar hasilnya bisa memperkuat lagi kredibilitas dan legitimasi MK sebagai the guardian of constitution sehingga tidak menimbulkan kekacaaun yang berkepanjangan dimasa mendatang. (***)

Opini oleh: Balduinus Ventura (Ketua Lembaga Advokasi Hukum dan HAM PP PMKRI)

banner 336x280
banner 728x90
Exit mobile version