banner 728x90
Opini  

Demokrasi Disandera Dinasti

Balduinus Ventura (Ketua Lembaga Advokasi Hukum dan HAM PP PMKRI).
banner 468x60

RUBRIKA OPINI – Fenomena politik Indonesia akhir-akhir ini seringkali dihiasi oleh berbagai dinamika sosial dan diskursus menjelang Pemilu 2024. Dalam diskursus yang dibangun dan disuguhkan di ruang publik kita tidak terlepas dari bagaimana idealitas dan praksisnya demokrasi.

Dalam tataran ideal, kita semua mengetahui dan memahami bahwa inti dari demokrasi, memposisikan hak, kesempatan dan akses bagi semua warga negara sama didepan hukum dan pemerintahan.

banner 336x280

Secara konstitusional pasal 27 ayat (1) UUD 1945 berbunyi segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Pasal ini menegaskan bahwa demokrasi memberikan kebebasan yang sama bagi setiap orang untuk berkompetisi termasuk hak untuk memilih dan dipilih dalam kontestasi pemilihan umum.

Praktik politik Indonesia, kita diperhadapkan dengan realitas politik dinasti, situasi  ini sering disebut dengan dimana satu keluarga yang sedang menjadi pejabat publik melibatkan anak, saudara bahkan menantunya untuk menjadi kandidasi dalam pesta pemilu baik dilevel eksekutif maupun legislatif.

Pada bagian ini saya mencoba menyoroti pengaruh politik dinasti dalam institusi eksekutif sabagai penggerak sekaligus pengendali sumber daya pemerintahan.

Dalam KBBI mendefinisikan dinasti adalah keturunan raja-raja yang memerintah, semuanya berasal dari satu keluarga. Artinya dalam tubuh pemerintahan yang berkuasa ialah mereka yang lahir dari darah yang sama.

Konsekuensi logisnya, kompetisi yang difasilitasi oleh system demokrasi nampaknya tidak lagi demokratis dan terkesan seolah-olah dibajak oleh satu kelompok, kepentingan bahkan golongan tertentu. Sehingga hak atas kesempatan dan akses yang sama dalam proses demokratisasi di Istimewakan bagi mereka yang punya kuasa dalam keluarganya.

Mahkama Konstitusi (MK) melalui laman resminya menjelaskan bahwa tren politik kekerabatan itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional. Yakni berupa sistem patrimonial  yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi.

Menurutnya, kini disebut neopatrimonial, karena ada unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru. “Dulu pewarisan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural.” Anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan, yaitu partai politik. Oleh karena itu, patrimonialistik ini terselubung oleh jalur prosedural.

Kondisi dan keadaan politik seperti ini yang membuat system demokrasi tidak lagi berjalan sebagaimana nilai dan cita-cita dan dari demokrasi itu sendiri. Sempitnya ruang persaingan, longgarnya system politik, ongkos politik yang mahal dan matinya kaderisasi politik menyebabkan instanitas dan politik karbitan mengepung panggung publik tanah air tanpa pertarungan ide-ide besar dalam memperjuangkan cita-cita berbangsa dan bernegara.

Demokrasi Salah Urus

Kepemimpinan dan manajemen bernegara yang baik dalam iklim demokrasi seharusnya menyedepankan keterbukaan, kesetaraan hak dan kapasitas yang berbasikan gagasan Bukan berdasarkan darah(dinasti). Proses pemilu yang berkeadilan, proses politik yang kompetetif dan kebebasan warga negara dalam memutuskan hak untuk dipilih dan memilihnya dalam momentum pemilu idealnya tidak melibatkan kandidasi yang menjadi bagian dari keluarga (penguasa) yang sedang berkuasa   .

Diera Presiden Joko Widodo, terminologi politik dinasti mendapat sorotan tajam dari publik, pasalnya, kedua anaknya dan menantunya menjadi bagian dari pejabat publik (Wali Kota Solo, Wali Kota Medan dan anak bungsunya, menjadi ketua umum partai politik) saat Jokowi menjabat sebagai presiden. Padahal sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, seharusnya Jokowi menunjukan kenegarawanannya dan meninggalkan legacy yang baik untuk perkembangan demokrasi Indonesia.

Selain presedent tersebut, publik juga menilai ada beberapa partai politik justru menjadikan partai politik layaknya sebuah perusahaan dimana struktur, system dan kepemimpinanya terdominasi disatu tangan (keluarganya). Bahkan ada satu keluarga (suami-istri) dua-duanya menjadi pejabat publik baik legislative maupun dilevel eksekutif.

Tentu secara yuridis konstitusional, politik dinasti tidak ada satu normapun yang mengatur atau melarang soal tumbuhnya bibit dinasti dalam system perpolitikan Indonesia tetapi pada saat yang sama etika demokrasi, eksistensi dan kedaulatan (hak) rakyat dikoptasi oleh longgarnya system yang potensialitas menciderai nilai-nilai demokrasi itu sendiri sehingga kesempatan dan akses untuk berkompetisi diruang publik terkesan tidak adil dimata rakyat.

Dalam kacamata historis, kita mengenal bahwa praktek kekuasaan yang lahir karena kesamaan darah dan keturunan hanya ada di kehidupan dan system feodalisme. Artinya legitimasi dinasti politik hanya diakui pada era-era kerajaan bukan demokrasi.

Walaupun diera modern, pola dan bentuk implementasi dinasti politik tidak di tunjuk secara langsung, dalam hal ini berdalih dibalik mekanisme pemilu tetapi secara substansial, itu hanya menumbuhkan bibit-bibit kerajaan baru (neofeodalism) yang anti persaingan, anti kebebasan individu dan diskriminatif.

Neo-feodalisme bekerja melalui system, sehingga wajahnya tidak kelihatan padahal inti dan prakteknya hampir sama dengan kondisi Indonesia hari ini. Banyak orang yang sinistis dan psimistis dengan situasi sejenis ini, karena pemaknaan demokrasi tak lagi tentang partisipasi dan emansipasi rakyat yang berkeadilan melainkan tentang satu keluarga dan golongan tertentu. Hal ini menjadi warning untuk publik dalam memahami secara dalam dan tajam bagaimana system lama (feodalism) beroperasi dengan senyap.

Dengan pembiaran praktek dinasti politik mengakibatkan mereka (figur) yang satu darah dengan penguasa, satu darah dengan pemilik capital dan satu darah dengan bos partai politik mendapat porsi yang istimewa ketimbang mayoritas rakyat. Sirkulasi penguasaan, kekuasaan, dan pemilu hanya berkutat pada ruang yang sangat sempit.

Banyak orang yang jauh lebih kompeten dan kredibel menjadi pejabat publik tetapi dengan realitas yang jarak dengan elit, minimnya relasi kekuasaan dan terbatas secara finansial cendrung mendapat porsi yang tidak sama dalam banyak hal (pengaruh, uang, akses, relasi dan sejenisnya) sehingga potensi koruptif, konflik kepentingan dan mengamankan kepentingan antar golongan sangat tinggi.

Mewujudkan Demokrasi yang Ideal  

Ditengah eksistensialitas praktik politik yang tidak mencerminkan roh historis dan orientasi demokrasi yang tersandera hari ini. Maka, penulis menawarkan beberapa point; Pertama, Merevisi undang-undang pemilihan umum, dengan merivisi undang-undang no. 7 tahun 2017 tentang PEMILU, pemerintah dan DPR dapat menormatifkan, memperketat secara terang dan tegas (pasal) terkait larangan politik dinasti dalam satu keluarga (darah) yang sedang berkuasa baik legislatif maupun eksekutif bahkan yudikatif.

Sehingga tidak ada potensi keistimewaan dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dalam pelaksaan pesta demokrasi antara anak penguasa dan non penguasa, semua berangkat dari titik star yang sama. Kedua, Pemerintah perlu mengatur, mengawasi  dan  membiayai ongkos pemilu, ditengah mahalnya (political costs) dan maraknya money politik dalam musim politik, sudah saatnya pemerintah memaksimalisasi peran sumber daya penyelenggara pemilu dan mempertegas system pengawasan dana kampanye dan transasaksi dalam proses politik yang sangat mahal.

Dengan meminimalisir biaya pemilu, mengatur system dan pengawasan yang tegas maka rakyat bisa berkompetisi secara sehat tanpa bergantung pada kelompok penguasa, kelompok pemodal dan kelompok dinasti manapun.

Ketiga, Partai politik harus ditunggangi dengan tradisi kaderisasi, realitas partai politik indonesia yang semakin pragmatis dan oportunis beberapa dekade terakhir membuat publik muak dengan dinamika dan diskurus elitis yang tidak berbasis pada orientasi perjuangan yang jelas.

Partai politik cendrung dianggap wadah mencari kekuasaan dan mengamankan bisnis pribadi dan golongan tertentu, keluar masuk partai tanpa konsistensi idiologis yang jelas sehingga partai politik ditunggangi oleh kepentingan pragmatis semata bukan konsistensi ide dan gagasan kepartaian. (***)

Opini oleh: Balduinus Ventura
Ketua Lembaga Advokasi Hukum dan HAM PP PMKRI

banner 336x280
banner 728x90
Exit mobile version