banner 728x90
Opini  

Pemilu Dalam Cengkraman Oligarki

Bonifasius Norung, Komisaris Daerah lll Pengurus Pusat (PP) PMKRI Periode 2022-2024. (Foto: Ist)
banner 468x60

RUBRIKA – Dalam negara demokrasi, pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu indikator untuk mengukur sejauh mana praktik demokratisasi dijalankan, karena didalam pemilu masyarakat sebagai pemegang kedaulatan dilibatkan secara lansung untuk menentukan para wakil-wakilnya.

Melalui pemilu masyarakat dapat menjalankan hak politik, menentukan pilihanya secara lansung dan bebas tanpa intervensi dari pihak manapun.

banner 336x280

Pemilu juga dapat dijadikan instrument oleh masyarakat untuk mengevaluasi kinerja sekaligus mencegah praktik penyelewengan kekuasaan dalam jangka waktu yang lama.

Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi yang rutin melaksanakan pemilihan umum, yang mana pesta demokrasi ini dijalani setiap lima tahun sekali.

Adanya sirkulasi elite kekuasaan dalam setiap lima tahun tentunya dibarengi juga dengan optimisme dari masyarakat dalam hal perbaikan kondisi sosial dan ekonominya, faktor inilah yang membuat masyarakat cukup antusias dalam menyambut pemilu.

Namun dalam banyak kasus sering kali pemilu tidak menghasilkan perubahan yang mendasar bagi masyarakat akar rumput, dalam konteks ini pemilu justru terjebak dalam hal yang sifatnya prosedural dan partisipasi masyarakat hanya dipandang sebagai pelengkap.

Lantas apa yang membuat praktik pemilu kita menjadi destruktif seperti ini? apakah kita menganggap persoalan yang sedang menggerogoti sistem pemilu sebagai sesuatu yang tidak bisa dirubah?

Hemat saya tidak, disini saya coba mengajak teman-teman untuk membawa persoalan ini dalam kerangka ekonomi politik, untuk menelisik lebih dalam terkait persoalan yang ada dalam sistem politik kita.

Pemilu dalam Cengkraman Oligarki

Istilah oligarki barang kali sudah tidak asing lagi dalam telinga kita, konsep ini banyak kita jumpai dalam ruang diskursus diberbagai tempat terutama dalam pendiskusian yang berkaitan dengan tatanan ekonomi politik Indonesia kontemporer.

Secara etimologis oligarki berasal dari bahasa yunani yaitu “Oligarchia” yang artinya pemerintahan oleh yang sedikit. Oligoi (sedikit) dan arkhein (memerintah).

Dalam buku Oligarki yang ditulis oleh Jeffrey A. Winters dia menjelaskan bahwa oligarki adalah politik pertahanan kekayaan antar aktor yang memiliki sumber daya material yang berlimpah.

Lebih lanjut Jeffrey winters menyampaikan penjelasan mengenai oligarki didasarkan pada fakta bahwa ketidak setaraan material yang ekstrim akan menghasilkan ketidak setaraan politik yang ekstrim pula.

Pada konteks ini kita bisa melihat titik penekanan yang disampaikan oleh winters adalah berbicara soal sumber daya material yang terkosentrasi dalam tangan sekelompok orang, sehingga dengan sumber daya timpang itu, akan berdampak pada akses masyarakat dalam politik menjadi tidak setara dan kecenderungan memonopoli sistem politik juga terbuka lebar akibat kelebihan kekuasaa pada tangan sekelompok orang.

Winters juga menempatkan oligarki dalam dua dimensi. Dimensi pertama, oligarki memiliki dasar kekuasaan dan kekayaan material yang sangat susah untuk dipecah dan diseimbangkan.

Kedua, oligarki memiliki jangkauan kekuasaan yang kuat dan sistemik, meskipun posisinya minoritas dalam suatu komunitas. para oligark selalu memiliki berbagai macam cara untuk melindungi kekayaan yang dimilikinya, dia akan terus bertransformasi ketika ada ancaman yang datang dari luar.

Dibawa rezim orde baru semisalkan, bagaimana kekuatan oligarki tumbuh subur dan berpusat pada Soeharto. Untuk menopang kekuasaanya, rezimn orde baru memelihara hubungan baik dengan para korporasi, situasi itupun dimanfaatkan betul oleh para pengusaha-pengusaha yang punya kedekatan dengan Soeharto.

Dalam penjelasan winters mengenai tipe-tipe oligarki, salah satunya oligarki sultanistik. Winters menjabarkan oligarki yang tumbuh dibawa rezim soeharto membentuk sekema yang perpusat pada soeharto dan hubungan antara oligark bersifat patron-klien terhadap oligark yang berkuasa. 

Wewenang dan kekerasan dikuasai oleh penguasa utama, sedangkan oligark lainya menggantungkan pertahanan kekayaan dan hartanya pada penguasa tunggal tersebut dan kewajiban soeharto adalah melindungi kepentingan dari para oligark yang berlindung dibawa ketek kekuasaanya. 

Dengan modal kekuasaan politik dan alat kekerasan negara, Soeharto mampu mengendalikan kekuatan para oligark yang tumbuh dibawa rezim orde baru.

Hal yang sama juga disampaikan oleh vedi hadiz dalam buku dinamika kekuasaan ekonomi politik Indonesia pasca soeharto, dalam penjelasanya vedi hadiz menyampaikan untuk mengenal politik Indonesia harus mengetahui bagaimana orde baru dibangun.

Lebih lanjut Vedi menyampaikan orde baru dibangun dengan tujuan untuk melindungi kepentingan oligarki kapitalis keluarga soeharto dan kroni-kroninya, disini militer sebagai pengawal setia untuk melanggengkan kepentingan rezim. 

Pada sisi yang lain dengan kekuasaanya yang besar, rezim orde baru melumpuhkan secara total kekuatan masyarakat sipil, dalam hal ini gerakan-gerakan yang berpotensi mengancam kepentingan rezim.

Sebut saja, gerakan buruh, serikat petani dan oganisasi masyarakat lainya. Disinilah titik awal, kenapa gerakan civil society menjadi lemah di Indonesia.

Pada masa ini semua agenda politik dibawa kendali penuh rezim dengan membatasi partisipasi masyarakat yang seminim mungkin. Soeharto dengan golkarnya berkuasa secara total, disaat yang sama keberadaan partai politik lain di kebiri oleh kekuasaan, salah satunya kebijakan peleburan partai politik oleh orba menjadi tiga partai (Golkar, PDIP, PPP).

Aparatur sipil negara (ASN) mulai dari pusat, provinsi sampai ke tingkat desa menjadi kader fungsionaris golkar. Pada era ini pelaksanaan pemilu hanya sekedar formalitas karena hampir semua lembaga bekerja untuk memenangkan Soeharto. 

Rentetan pelaksanaan pemilu dari 1971 dan yang terakhir 1997 adalah gambaran nyata kuatnya dominasi oligarki dalam sistem perpolitikan kita. Soeharto berkuasa selama tiga puluh dua tahun, disaat yang sama korupsi terus meraja lela, dengan memanfaat kedekatan dengan soeharto para oligark terus melakukan eksploitasi sumber daya sumber daya alam diberbagai wilaya di Indonesia.

Masuk ditahun 1997 rezim Soeharto mengalami kegoncangan akibat krisis moneter yang melanda asia, khususnya asia timur dan krisis ini berdampak lansung terhadap jalanya roda ekonomi didalam negeri. 

Ditambah lagi tekanan masa demonstran yang memaksa soeharto untuk mundur dari jabatanya. sampai pada puncaknya ditahun 1998, rezim Soeharto dilengserkan dari tampuk kekuasaan. 

Tepatnya di tanggal 21 mei 1998 Soeharto menyatakan sikap untuk mengundurkan diri dari posisinya sebagai president. Dengan tumbangnya orde baru tentunya akan membawa angin segar bagi dinamika perpolitikan Indonesia. Keran demokratisasi dibuka selebar-lebarnya tak terkecuali dalam sistem politik. 

Namun tumbangnya kekuasaan soeharto tidak semerta-merta diikuti dengan hancurnya dominasi oligarki dalam dinamika perpolitikan kita. dalam hal ini, Winters menjelaskan, untuk menghancurkan oligark beserta sistemnya bukan melalui prosedur politik menjadi demokrasi melainkan dengan menghilangkan distribusi sumber daya yang tidak seimbang.

Argumen ini berangkat dari pandangan winters yang mengatakan dasar dari kekuasaan oligarki adalah ketimpangan material yang sangat ekstrim, dimana ada ketimpangan dalam hal penguasaan material maka disitu kekuasaan yang oligarki akan hidup.

Hal yang serupa juga disampaikan oleh Vedi Hadiz dan Robinson yang mana Indonesia pasca Soeharto dicirikan dengan adanya perubahan politik sebagai bagian dari peroses demokratisasi tetapi tidak menyingkirkan dominasi oligarki yang sudah tumbuh subur dibawa rezim Soeharto. 

Berangkat dari dua pandangan diatas kita bisa menyimpulkan bahwa gerakan reformasi tidak sedikitpun berdampak terhadap dominasi oligarki dalam dinamika perpolitikan di Indonesia, yang ada oligarki juga bertransformasi mengikuti sistem politik kita. dari rezim otoritarian soeharto ke era reformasi yang ditandai dengan kuatnya arus demokratisasi. 

Kekuasaan politik tidak lagi terkonsentrasi di tangan satu orang, dilain sisi juga adanya desentralisasi yang membuat sistem politik kita tidak tersentralistik.

Memasuki reformasi pelaksanaan pemilu kita sudah semakin cair, partai politik sebagai salah satu instrument dalam pemilu keberadaanya sudah dijamin oleh konstitusi, termasuk kebebasan untuk membentuk partai.

Dengan situasi yang demikian, para oligark yang sudah tumbuh besar dibawa rezim soeharto juga turut mengambil keuntungan, mereka dengan cepat menyesuaikan diri mengikuti perubahan sistem politik yang ada.

Dalam undang-undang pemilu semisalkan, salah satunya diberikan kebebasan untuk membentuk partai politik, dengan modal yang sudah mapan, pemain-pemain lama orde baru dengan mudah mendirikan partai politik, bahkan partai golkar yang merupakan partainya Soeharto semasa orde baru masih bergerak bebas di era reformasi. 

Kemudian dengan adanya desentralisasi wilayah operasi para oligark juga semakin meluas dan ikut terdesentralisasi juga ke daerah, mereka memanfaatkan otonomi daerah untuk membuka lahan baru dalam monopoli dan mengeksploitasi sumber daya alam untuk terus mengakumulasi modal.

Seperti inilah situasi politik kita, gerakan reformasi tidak membawa kita kepada ranah yang lebih substansial dalam demokrasi. Dominasi oligark dalam momentum pemilu yang dilaksanakan setiap lima tahun masih mengakar kuat, dalam realitas  yang demikian kita selalu menemukan jalan buntuh untuk perbaikan demokrasi kita.

Hal yang prinsipil dan paling mendasar dalam negara demokrasi adalah berbicara soal  hak dan kebebasan dari warga negara, tak terkecuali dalam politik. 

Dalam konteks pemilu misalnya, warga negara memiliki kebebasan dan hak yang sama  untuk berpartispasi dalam pemilu, baik hak untuk memilih maupun dipilih. Namun dengan adanya ketimpangan kepemilikan sumber daya material dengan sendirinya kebebasan dan hak masyarakat untuk berpartisipasi secarah penuh dalam pemilihan umum menjadi tidak setara. 

Para aktor yang mau mencalonkan diri dalam setiap kontestasi pemilihan umum akan selalu terhambat oleh faktor modal, pada sisi yang lain kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki setiap individu tidak lagi menjadi standard penilaian.

Pemilihan umum tidak lagi dihiasi oleh pertarungan gagasan dan konsep-konsep kerakyatan, melainkan pertarungan kekuatan modal. Para calon-calon yang modalnya terbatas terpaksa harus merapat kepada para oligark, kondisi inilah yang membuat hubungan antara pengusaha dengan para politisi menjadi langgeng, keduanya membangun hubungan yang saling bergantung satu sama lain. 

Para korporasi membutuhkan negara untuk melindungi kepentingan bisnisnya dalam hal membuka akses terhadap sumber daya negara, sebaliknya para politisi membutuhkan topangan modal dari para oligark.

Kuatnya dominasi oligark dalam pemilu adalah salah satu alasan kenapa kita sulit untuk menemukan alternatif pemimpin yang serius dalam menyelesaikan persoalan grassroots. Pemilu yang dilaksanakan setiap lima tahun menjadi tidak bermakna, arena pemilu hanya dijadikan ruang untuk konsolidasi kekuatan elite. Lalu bagaimana dengan pemilu 2024?

Saya kira menarik untuk kembali pada pandangan yang disampaikan winters maupun Vedi hadiz dan Robinson, kita perlu meredistribusi kekayaan yang terkonsentrasi dalam tanggan sekelompok orang. Hanya dengan cara ini oligarki bisa diberantas sampai ke akar-akarnya. 

Kalau tidak, kita hanya akan mengulangi kesalahan yang sama dalam setiap momentum pemilu dan harapan akan kebaikan bersama menjadi nihil dalam situasi seperti ini. 

Pemilu 2024 tidak menghadirkan sesuatu yang baru selain kompetisi dari para elite dalam merebut kekuasaan. 

Pemilu 2024 adalah arena para oligark untuk mengkonsolidasi ulang kekuatanya, masyarakat tidak punya pilihan lain selain diperhadapkan dengan opsi yang disodorkan oleh mereka. (***)

Opini oleh: Bonifasius Norung || Komisaris Daerah lll Pengurus Pusat (PP) PMKRI Periode 2022-2024

banner 336x280
banner 728x90
Exit mobile version