banner 728x90
Opini  

Sistem Proporsional Tertutup, Partai Politik dan Pembusukan Demokrasi

Balduinus Ventura (Ketua Lembaga Advokasi Hukum dan HAM PP PMKRI)
banner 468x60

RUBRIKA – Belakangan ini publik dihebohkan oleh berbagai isu yang berhubungan dengan tahun pemilu 2024.

Dari berbagai isu, wacana dan diskursus yang sedang hangat diperbincangkan, salah satu yang paling seksi terkait dengan wacana system pemilihan tertutup dan terbuka yang menuai pro kontra di publik.

banner 336x280

Pertarungan wacana antara partai politik, akademisi bahkan aktivis semakin menguat dan memanas pasca ada pemohon yang mengajukan gugatan atas Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum.

Dalam pasal itu diatur bahwa pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.

Sembari sidang gugatan itu berjalan dan menanti putusan final dan binding di Mahkamah Konstitusi, banyak intelektual yang menyangsikan terkait tugas dan fungsi Mahkama Konstitusi sebagai pengawal konstitusi (guardian of constitution) untuk memeriksa dan memutuskan terkait system pemilu yang harus diberlakukan ditengah demokrasi Indonesia dewasa ini.

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai bahwa permohonan judicial review mengenai perubahan sistem pemilu proposional terbuka menjadi tertutup bukan wewenang Mahkamah Konstitusi (MK).Menurutnya, jika MK mengabulkan perubahan sistem pemilu, maka MK telah mengunci kewenangan DPR dan presiden untuk mengevaluasi sistem yang berlaku.

Pandangan lain ditegaskan oleh Pakar Hukum Tata Negara, Fery Amsari yang menyatakan bahwa seharusnya system pemilu terbuka atau tertutup seharusnya dikembalikan ke pembentuk undang-undang baik DPR maupun Pemerintah (open legal policy).

Saya menilai bahwa gagasan ini seharusnya diterima oleh MK sehingga biarkan proses politik di DPR yang memutuskan ini.

Tentu secara formil/prosedural publik bisa memperdebatkan itu tetapi yang jauh lebih mendasar dan juga elementer adalah apa urgensitas dan manfaat perubahan system pemilu tersebut?

Sebagai fakta politiknya ada beberapa partai politik yang menolak keras system proporsional tertutup ini. Tetapipublik melihat bahwa potensi dan indikasi pemberlakukan system tersebut sangat mungkin diputuskan oleh Mahkamah konstitusi.

Memahami System Proporsional Tertutup Secara Sederhana

Runtuhnya system otoritarianisme orde baru sebagai momentum mengembalikan esensi demokrasi dan kedaulatan ketangan rakyat.

Pasalnya pada proses politik dan pemilihan legislatif orde baru, pemerintah menerapkan system proporsional tertutup yang secara prinsipil rakyat hanya dirahkan untuk mencoblos partai bukan figure/orang.

Konsekuensinya kedaulatan rakyat ada ditangan partai bukan ditangan rakyat karena partai yang memfilter sekaligus memutuskan siapa yang layak berdasarkan kepentingan partai.

Akibat logis yang lain karena partai punya fungsi kontrol yang mutlak untuk menentukan siapa yang pantas jadi wakil rakyat cendrung terjadi penyalahgunaan kekuasaan(abuse of power) baik dalam bentuk tindakan koruptif, nepotisme, kolusi hingga mengabaikan kepentingan publik.

Rakyat sekedar objek dalam pemilihan umum sementara pemilik partai memiliki power yang kuat sehingga kemiskinan, kebodohan dan ketimpangan sosial cukup massif terjadi karena yang diprioritaskan dalam pelayanan bukan lagi rakyat melainkan Tuan partai.

Pada aspek yang lain eksistensi partai politik dapat dimaknai sekedar industri politik semata.

Sebagai industri politik ia mengedepankan logika akumultif power termasuk tukar tambah kekuasaan untuk kepentingan kroni-kroninya, golongan dan kelompok kepentingan masing-masing partai politik. 

Jangan heran jika dominasi kekuasaan dan partai politik terus meluas dan menguat untuk mengendalikan aparatus negara dan mengesampingkan kepentingan publik.

Selain itu, system proporsional tertutup cendrung berpotensi melahirkan tirani karena pada dasarnya potensialitas tukar tambah kekuasaan dan tidak adanya kompetisi yang sehat, membuat partai-partai halalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaanya.

Eksistensialitas, pengaruh dan power dari partai yang memiliki control penuh ingin terus berkuasa karena rakyat tidak lagi punya kepentingan langsung dengan wakilnya untuk menyuarakan aspirasi dan hak-hak kritisnya.

Melawan Pembusukan Demokrasi

Sebagai antitesa dari system proporsional tertutup yang berlaku direzim ordebaru, pemerintah telah melakukan perubahan substantif dalam system politik lebih khusus dalam pemilihan umum ditandai dengan amandemen konstitusi 1945 pasal 1 ayat (2) Kedaulatan berada di tangan rakyat, dengan dilaksanakannya menurut Undang-Undang Dasar dan Pasal 22 E ayat (2) pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.

Sebagai bentuk implikasi dan implementasi dari tugas konstitusional tersebut,pada tahun 2004 negara melaksanakan pemilihan umum secara langsung, jujur dan bebas. 

Artinya rakyat diberikan otoritas sepenuhnya untuk memilih wakil-wakilnya secara terbuka kepada figure yang mereka pilih berdasarkan kapasitas, kapabilitas, integritas serta visioneritas orang yang mampu merepresentasikan ide,pikiran, dan hak mereka sebagai pemilik kedaulatan rakyat.

Perkembangan demokrasi dewasa ini, menyadarkan kita terkait pentingnya system proporsional terbuka ditengah kelemahannya.

Pasalnya rakyat bisa berkompetisi secara sehat dan fair serta mengedepankan gagasannya sebagai objek marketisasi politik ditengah publik sehingga rakyat benar-benar memahami, menilai dan memutuskan hak suaranya siapa yang pantas untuk memperjuangkan dan mewujudkan hsrapannya secara langsung.

Pengaruh dan control partai politik yang begitu besar dapat terminimalisir dengan keterlibatan Rakyat secara langsung.

Selain itu, rakyat bisa mengevaluasi dan mengganti wakilnya dari kursi kekuasaan setiap lima tahun sekali tanpa bergantung pada cita rasa partai politik yang begitu kental sehingga daulat dan mandat rakyat tidak di deviasi secara belebihan oleh partai.

Dalam perspektif yang lain dengan pemberlakuan system proporsional terbuka, publik bisa meminimalisir kapitalisasi demokrasi secara massif ditangan parpol.

Para calon tidak hanya berlomba-lomba bertransaksi gelap (uang) dan bertindak pragmatis untuk mempertahankan kekuasaanya dengan bos partai tetapi juga harus diuji, ide, gagasan, kinerjanya dihadapan rakyat.

Selain itu, kelebihan system ini meminimalisir popularitas partai sebagai senjata pemenangan politik dari pada intektualitas dan integritas figure.

Kita ketahui bersama bahwa banyak partai politik bahkan hampir semua tidak memiliki kaderisasi yang jelas dan prinsip idiologis dalam pembangunan sosial,ekonomi dan politik.

Marketisasi popularitas berefek pada pembusukan makna dan hakikat demokrasi untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Penguatan Kaderisasi dan Reorientasi Parpol

Munculnya perdebatan terkait system proporsional terbuka dan tertutup seharusnya dianggap sebagai kritik dan evaluasi terkait pemaknaan esensial dan urgensitas dari institusi partai politik perhari ini.

Ditengah krisis dan degradasi kualitas dan peran partai politik hari ini menjadi catatan penting untuk mencegah terjadinya pembusukan demokrasi.

Ditengah plus minusnya system diatas, publik bisa menilai bahwa dua-duanya tidak akan berpengaruh signifikan bila partai politik di Indonesia punya standar kurikulum pendidikan dan idiologi yang jelas.

Partai politik seharusnya mampu menjadi episentrum untuk membentuk dan mengkaderkan secara serius calon pemimpin bangsa.

Jika partai politik sudah menjalankan tugas pencerdasan politik pada rakyat dan tugas kaderisasi yang terarah dan berimplikasi secara doktrinatif terhadap semua kader-kadernya untuk  kepentingan umum, publik yakin bahwa partai politik dapat diterima oleh rakyat untuk melawaan transaksionalisme dan pragmatisme politik yang semakin meluas dan mengakar dihampir semua partai.

Pada titik tertentu juga, soal system, prosedur dan mekanisme pemilu sebenarnya tidak menimbulkan diskursus yang menguras energy publik bila budaya, praktek dan orientasi partai politik berubah secara substantif dan kualitatif sehingga tugas pendidikan politik, pendstribusian keadilan sosial dituntun oleh ide, nilai dan visi yang menjadi cita-cita luhur partai untuk rakyat dan negara.

Jadi, karena peradabaan dan keadaban system politik dan partai politik kita masih terpenjara dengan mentalitas dan karakteristik feodal serta kapitalistik maka sudah seharusnya mahkamah konstitusi menjaga cita rasa demokrasi dan tetap memberlakukan system proporsional terbuka sehingga kedaulatan rakyat tidak mengalami pembusukan ditangan Tuan-tuan partai di republik ini. (***)

Opini oleh: Balduinus Ventura (Ketua Lembaga Advokasi Hukum dan HAM PP PMKRI)

banner 336x280
banner 728x90
Exit mobile version