banner 728x90
Opini  

Darul Jalal, Ponpes Salafiyah Kecil dengan Nasionalisme Luar Biasa

Upacara HUT Kemerdekaan RI di Pondok Pesantren Islam Salafiyah Darul Jalal Malang. (Foto: Ist)
banner 468x60

RUBRIKA – Dewasa ini banyak muncul ancaman terhadap nasionalisme dan kedaulatan negara yang tidak hanya bersifat militer namun juga non militer. Ancaman dapat berasal dari berbagai pihak, dari luar negeri (ekstrenal) maupun dalam negeri (internal).

Semakin kompleks dan majemuk sebuah bangsa dan negara, maka akan semakin besar dan berat hambatan dan tantangannya dalam mewujudkan semangat nasionalisme.

banner 336x280

Karena setiap negara memiliki tingkat kompleksitas dan kemajemukan yang berbeda, maka masing-masing memiliki tingkat tantangan yang berbeda pula. 

Di era modern ini, faktor-faktor yang mengancam keutuhan nasionalisme dan kedaulatan suatu negara harus segera ditangani agar tidak timbul ancaman yang dapat memecah persatuan rakyat dan berdampak buruk terhadap keutuhan dan kedaulatan suatu bangsa.

Pada masa pasca reformasi ini, ancaman internal terhadap nasionalisme seperti sentiment etnis adalah kelompok pengusung sentimen kedaerahan yang jika terus menerus dibiarkan akan membentuk gerakan memisahkan diri dari pemerintah pusat dan membentuk pemerintahan sendiri yang otonom.

Contoh seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan OPM (Organisasi Papua Merdeka). Priomordalisme juga banyak memberikan dampak negatif bagi masyarakat multikultural karena memicu perpecahan yang tentunya merugikan individu atau kelompok etnis lain.

Sikap ini sangat menghambat proses harmonisasi masyarakat dan proses globalisasi dalam konteks kehidupan internasional. Kondisi di Indonesia juga menunjukan adanya ekses negatif dari keanekaragamaan ini dengan banyaknya konflik yang terjadi. 

Salah satu konflik berbasis primodial di Indonesia banyak melibatkan penduduk etnis Tionghoa dengan pribumi (Nurjaman, 2021).

Selain sentiment etnis, sentiment keagamaan mendapatkan posisi penting dalam kategori ancaman besar terhadap nasionalisme pasca reformasi. 

Sentiment atau konflik-konflik berbau SARA, fenomena disintegrasi bangsa, munculnya ormas-ormas yang mengusung ideologi tertentu dan ingin menggusur kedudukan Pancasila. 

Dalam hal tersebut, negara Indonesia jauh lebih berat dengan kepluralan dan kekompleksitasan yang tinggi dalam struktur bangsanya.Pembawa sentiment keagamaan yang mengusung doktrin Kepolitikan Islam tertentu yang dapat dikategorikan sebagai aliran radikal juga menjadi ancaman nasionalisme di Indonesia saat ini. 

Gerakan radikalisme di Indonesia tumbuh sumbur dan berkembang pasca kejatuhan Orde Baru. Karena selama masa pemerintahan Soeharto menerapkan tidak akan menolerir adanya gerakan-gerakan yang itu menyimpang dari ideology negara yaitu Pancasila. 

Era reformasi memberikan keterbukaan pada berbagai macam aliran dan paham-paham politik yang baru. 

Kemunculan gerakan radikalisme Islam, baik yang klandestin, seperti Jemaah Islamiyah (JI), maupun yang terang-terangan seperti Laskar Jihad, Laskar Jundulloh, FPI, MMI, HTI, dan lain-lain, merupakan dampak dari semakin terbukanya iklim politik dan demokrasi pasca-tumbangnya Orde Baru. (Hilmy Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Ampel Jl Ahmad Yani No & Timur, n.d.)

Radikalisme dan terosisme itu sendiri sebagai ancaman berat bagi ketahanan Indonesia di bidang politik, pertahanan dan keamanan. Hal ini dikarenakan radikalisme adalah paham yang menghendaki terjadinya perubahan signifikan dalam bidang politik dan juga sosial.

Pendekatan yang dipakai dengan cara ekstrim/kekerasan yang berpotensi terjadinya konflik. Bentuk perwujudan dan gerakan radikalisme bervariasi. 

Radikalisme tindakan dan gerakan ditandai oleh aksi ekstrem yang harus dilakukan untuk mengubah suatu keadaan seperti yang diinginkan. 

Contoh dalam bidang politik seperti tindakan teror, makar, revolusi, demonstrasi, dan protes sosial yang anarkis. Terorisme pada umumnya selalu bermuatan politik, seperti untuk merubah bentuk negara, ideologi, pemahaman dan kebijakan yang dikehendaki untuk diimplementasikan. 

Inilah yang membedakan terorisme dengan kejahatan dan kekerasan. Karena memiliki tujuan politik, maka pada dasarnya pihak-pihak yang setuju baik langsung maupun tidak langsung, atau bersimpati terhadap tindakan terorisme, pada dasarnya adalah teroris.

Pihak-pihak yang bersimpati tersebut, dapat berupa aktor intelektual, agenda setter, pembentuk opini publik, penyedia sarana dan prasarana yang dalam bentuknya yang soft misalnya dengan menentang dan mencela tindakan pemerintah untuk menghalangi, mengurangi dan melemahkan teroris. (Ditasman, 2022).

Dalam hal radikalisme di dunia pendidikan telah banyak dikaji oleh berbagai survey penelitian seperti contoh dari Kementerian Pertahanan RI (2019), ALVARA Research (2017), Wahid Institue (2016), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2016) dan Kementerian Agama RI (2017) yang dapat disimpulkan penulis kurang lebih demikian bahwa banyak dari lembaga pendidikan mulai dari SMP, SMA dan Universitas telah terkontaminasi oleh paham radikalisme.

Bahkan terdapat juga di lingkungan kerja baik itu swasta, BUMN maupun pemerintahan. Entah itu ketidaksetujuan terhadap ideology Pancasila, keinginan bentuk Negara Islam khilafah atau penolakan terhadap yang berkaitan dengan non muslim. Jika ini tidak segera ditangani, maka potensi terorisme akan semakin besar di masa yang akan datang.

Salah satu kasus terjadi berkaitan dengan ancaman terhadap nasionalisme Indonesia di lingkungan Lembaga Pendidikan. Keraguan sebagian umat Islam terhadap negara Indonesia, oleh Zakiyyuddin Baidhawy disebut sebagai sebuah krisis kepercayaan dan pemaknaan atas ideologi dan dasar negara.

Jika terus dibiarkan, bukan tidak mungkin keraguan ini akan berujung pada penolakan masif umat Islam terhadap dasar negara Pancasila. Setidaknya ini sudah terbukti dengan beberapa kasus anti kebangsaan yang marak akhir-akhir ini. 

Bahkan, lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi wadah kaderisasi para pemimpin bangsa juga tercoreng dengan kasus anti kebangsaan. 

Baru-baru ini, beberapa lembaga Pendidikan diberitakan melarang peserta didiknya melakukan penghormatan bendera merah putih dan menyanyikan lagu kebangsaan dengan alasan menyebabkan syirik. 

Bahkan salah satu oknum pesantren di Bogor nekat membakar umbul-umbul merah putih karena menjadi simbol negara kafir (Rohman, 2018). 

Hal ini bisa menjadi ciri anti nasionalisme dari penolakan mereka terhadap dasar atau lambang negara.

Kasus terbaru mengenai terorisme terjadi di Kota Malangtertanggal 23 Mei 2024 yaitu saat Densus 88 melakukan penangkapan terhadap seorang pria yang tinggal di tempat kontrakan selama 1,5 tahun di kawasan Kedungkandang.

Kasus ini menambah daftar kasus serupa yang dimana dulu gembong teroris Dr. Azhari dan komplotannya juga bersembunyi di kawasan Batu-Malang sehingga saat penangkapannya pun terjadi baku tembak yang sengit dengan Densus 88. 

Menjadikan Malang sebagai focus sasaran pengembangan mungkin dikarenakan terkenal sebagi kotanya para pelajar di Jawa Timur karena sebagai kota besar kedua setelah Surabaya, di kota ini terdapat banyak lembaga pendidikan mulai dari tingkat dini, dasar sampai pendidikan tinggi yang bagus dan bermutu.

Oleh karena kasus-kasus yang demikian, ditengah gempuran membentrokkan agama dengan Negara atau kebangsaan, penulis mendapatkan pengalaman yang sangat mengesankan saat melakukan penelitian berkaitan dengan nasionalisme ini. 

Sebuah pondok pesantren kecil di salah satu daerah di Kabupaten Malang memberikan warna yang kuat pada generasi muda khususnya para santrinya dalam hal penanaman dan penguatan terhadap nilai-nilai nasionalisme. 

Pondok pesantren kecil yang tergolong tradisional dan beraliran salafiyah namun nasionalismenya sungguh luar biasa. 

Pondok pesantren yang tidak hanya mencetak generasi muda yang concern dan ahli dalam hal keagamaan namun juga karakter nasionalisme yang kuat. 

Tentunya semua itu berproses, tidak serta merta ada begitu saja dan disinilah peran pendiri pondok pesantren sangat krusial dan signifikan dalam membangun pondasi pembelajaran yang berkaitan dengan kebangsaan, toleransi dan nasionalisme pada para santrinya.

Pengalaman penulis mengadakan penelitian di pondok pesantren ini sangat trekesan dengan nasionalisme dan kedalaman ilmu dari pendiri ponpes ini. 

Sebagai ahli agama, beliau tidak hanya mumpuni dalam hal keagamaan namun juga mampu merelevansikan hokum-hukum kegamaan dengan persoalan kebangsaan yang kemudian digubah dalam salah satu kitab karyanya yang biasa disebut oleh para santri sebagai Kitab Tafsir Pancasila. 

Dalam kitab ini secara rinci beliau mengkaji setiap sila dalam Pancasila kemudian direlatekan dengan ayat-ayat dari Al Qur’an, Hadist ataukitab-kitan keagamaan yang lain.

Padahal notabene, beliau bukan ahli hukum, ketatanegaraan maupun sejarah. Namun di dalam majelis mingguan yang khusus mendaras Kitab Tafsir Pancasila ini, beliau maumpu menjelaskan secara lugas mengenai kebangsaan ,toleransi dan nasionalisme.

Pemahaman dan pengajarannya inipun dilanjutkan oleh putranya, Gus Muhammad Ato’ullah sepeninggal wafatnya beliau. 

Dengan kisah-kisah pengalaman sehari-hari yang berkaitan dengan toleransi dan kebangsaan sesuai dengan bab dari Kitab Tafsir Pancasila ini menjadikan para santri yang mengikuti kajiannya sangat mudah memahami arti nasionalisme dan mempraktekkannya dalam kehidupan keseharian di lingkungan pondok pesantren maupun dimasyarakat. 

Profil Pondok Pesantren

Nama lengkap pondok pesantren adalah Pondok Pesantren Islam Salafiyah Darul Jalal Pakis yang beralamatkan di Jalan Sunan Ampel, Curah Ampel, Ampeldento, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur (Jatim).

Pondok pesantren ini didirikan oleh Alm. Al Maghfurlah KH. Abdul Jalaluddin secara resmi pada tanggal 11 Maret 1987. 

Lembaga pondok pesantren ini bercorak salafiyah (non formal) dengan kurikulum yang digunakan adalah kurikulum pondok sendiri, terlepas dari kurikulum nasional yang dibentuk pemerintah atau kurikulum dari Departemen Agama RI.

Peranan pondok pesantren ini di dalam memberikan konstribusi bagi bangsa dan negara sangat besar terutama dalam melestarikan tradisi keilmuan yang telah dirintis oleh para Salafussholeh untuk menegakkan syariat atau hukum-hukum Allah Swt yang sanadnya bersambung dari Rasulullah Saw, para Sahabat, para Tabi’in, para Tabi’it Tabi’in dan sampai pada Ulama masa kini. 

Visi misi Pondok Pesantren Islam Salafiyah Darul Jalal ini tidak lepas dari tujuan awal pendirinya yaitu:

a. Sebagai wadah pendidikan dengan corak salafiyah, berusaha untuk melestarikan tradisi keilmuan Ulama Salaf dan membentuk santri menjadi manusia berperilaku religious (sholeh), Nasionalis dan berdedikasi dalam keilmuan ditengah masyarakat yang pluralistis (majemuk).

b. Berangkat dari dedikasi pendiri (KH. Abdul Jalaluddin) terhadap sunia Pendidikan dan kepedulian terhadap dakwah Islam ditengah masyarakat dengan menyelenggarakan pengajian (Majelis Ta’lim) yang diikuti oleh santri (generasi awal) dan masyarakat dari berbagai usia maka dengan demikian Pondok Pesantren Islam Salafiyah Darul Jalal identik dengan keberadaannya yang memasyarakat.

Di dalam kurikulum pendidikan Pondok Pesantren Islam Salafiyah Darul Jalal ini terdapat pembagian kelas dalam tiga tingkatan dengan materi pembelajaran yang diberikan berbeda. Semakin naik pada kelas yang lebih tinggi maka semakin tinggi pula kekomplesitasan materi yang didapat dari pembelajaran kitab-kitab kuning. Berikut adalah tiga tingkatan kelas dan materi pembelajarannya yaitu :

a. Tingkat Shifir : Al Qur’an, Tafsir (Juz Amma, Al Ibriz), Hadist (Hadist 101, Lubbabul Hadist, Arbain An Nawawiyah), Tauhid (Rintisan Tauhid, Aqidatul ‘Awam, Jawahirul Kalamiyah), Akhlaq (Akhlaq Libanin) dan lain-lain.

b. Tingkat Tsanawiyah : Tafsir (Tafsir Jalalain), Hadist (Bulughul Marom), Ilmu Mustholah Hadist (Minhatul Mughits), Tauhid (Kifayatul ‘Awam, Ummul Barohin), Akhlaq (Taisirul Kholaq, Tahlia) dan lain-lain.

c. Tingkat Aliyah : Tafsir (Tafsir Jalalain), Ilmu Tafsir (Imam Ad-Diroyah), Hadist (Riyadushsholihin), Tauhid (Ummul Barohin, Mafahim YA), Tashawuf (Shirojut Tholibin) dan lain-lain.

Saat ini tahun ajaran 2022-2023 telah mencapai 12 kelas dengan tiga kelas tingkat Shifir, tiga kelas tingkat Tsanawiyah dan tigakelas tingkat Aliyah. 

Mengenai materi pembelajaran yang berfokus pada kitab-kitab kuning menunjukkan pondok pesantren ini sangat menekankan kepada tradisi keilmuan Islam yang sanadnya bersambung sampai Rasulullah Saw. 

Corak salafiyah yang dipandang tradisional karena merupakan pendidikan non formal namun para santri selalu diarahkan oleh Kyai/Pemimpin pindok pesantren maupun guru-guru untuk mengikuti perkembangan kondisi zaman, berbaur dengan masyarakat tanpa keeksklusifan, penuh toleransi dan mempunyai wawasan kebangsaan yang luas untuk menanamkan jiwa nasionalis yang kuat.

Perlu diketahui bahwa pondok pesantren ini adalah satu-satunya yang bercorak salafiyah di daerah Pakis-Kabupaten Malang. 

Tanpa adanya sekolah formal, pondok pesantren ini memang memfokuskan diri pada pembelajaran ilmu agama dan setelah dilakukan wawancara oleh penulis pada beberapa santri memang kebanyakan bertujuan “mondok” disini untuk memperdalam ilmu agama sedangkan untuk pendidikan formal mereka bisa mendapatkan di lingkungan pendidikan yang lain.

Perbedaan Pemaknaan Istilah Salafiyah

Kata salafiyah telah banyak disematkan pada nama di pondok-pondok pesantren yang baru didirikan saat ini. 

Namun jika ditelisik terdapat beberapa perbedaan pada corak atau metode yang digunakan dalam pengajaran di pondok pesantren salaf yang baru didirikan dibandingkan dengan yang telah lama berdiri dan cenderung bersifat tradisional. 

Perbedaan pemaknaan salafiyah ini melahirkan kelompok yang berbeda dari kelompok pada umumnya. 

Di Indonesia kata salaf telah lama dikenal, terutama di lembaga pendidikan tradisional, yang dalam konteks ini biasanya dipahami sebagai ulama-ulama abad pertengahan.

Namun kemudian muncul golongan tertentu, yang mengidentifikasikan diri sebagai salafi, yang agak eksklusif dan secara ketat menaati ajaran salaf dengan bersanad beberapa ulama tertentu yang dianggap sejalan dengannya. 

Kelompok ini cenderung lebih menganggap dirinya benar sedangkan di luar kelompoknya adalah sesat. 

Komunitas baru yang muncul akibat pemaknaan lain yang ditafsirkan dari istilah salafiyiah ini membentuk keeksklusifan sendiri mengenai kelompoknya yang membedakan dengan kalangan Islam yang lain pada umumnya. 

Komunitas salafi nampak agar berbeda dengan orang-orang kebanyakan dari kaum muslimin secara umum, mereka seakan menjadi sebuah subkultur atau komunitas tersendiri yang eksis dan berada di tengah-tengah masyarakatnya sendiri dan agak berbeda dengan masyarakat Islam secara umum terutama dari kalangan Islam tradisional. 

Dalam praktek keagamaan, kelompok ini tampil membawa corak yang masih fitrah dan asli dengan mencontoh pola hidup yang pernah ditampilkan oleh Rasulullah saw, para sahabat dan ulama terdahulu, sebuah ajaran yang diyakini masih asli dan murni sesuai apa yang dikehendaki oleh ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Saw (MENYOAL GERAKAN SALAFI DI INDONESIA (Pro-Kontra Metode Dakwah Salafi) Wahyudin, n.d.).

Kelompok ini mempraktekkan gaya hidup yang murni dari sunnah Rasulullah Saw dan cenderung berbudaya seperti masyarakat Arab juga mengadopsi beberapa kata atau kalimat dari bahasa Arab dalam kehidupan sehari-hari. 

Ciri yang ditampakkan biasanya untuk kaum laki-laki menggunakan pakaian yang berjubah dan berjenggot panjang dan kaum perempuan bergamis (kebanyakan warna gelap) dan menggunakan cadar atau penutup mata.

Kelompok ini mengharamkan apapun yang berasal dari Barat atau dapat dianggap anti terhadap Barat. Karena keeksklusifan dari kelompok ini sering dianggap masyarakat sebagai kelompok yang intoleran dan radikal.

Berkaitan dengan perbedaan pemaknaan istilah Salfiyahini, Kyai/Pemimpin Pondok Pesantren Islam Salafiyah Darul Jalal yaitu Gus Muhammad Atho’ullah memberikan pandangan dengan menyebutnya Safiyah NU dan Salafiyah Wahabi. 

Hal ini dijelaskan dalam wawancara dengan penulis seperti berikut ini:

Di dalam NU ada istilah Salafi/Salaf itu artinya lanjut atau dalam bahasa Jawanya adalah kuno jadi ulama NU baik itu di dalam organisasi maupun di tingkat pendidikan dan yang masih di pesantren ini, itu tetep mengikuti metode dan pengajaran yang diajarkan oleh ulama-ulama jaman dahulu. Intinya disitu. Dan sedangkan kalau salafi…salafi yang identik dengan wahabi itu, itu juga begitu  arahnya ke jaman dahulu tapi selalu kebablasan. Di dalam keblabasan itu slogannya mereka harus Kembali ke Al Qur’an dan Hadist sedangkan Al Qur’an diturunkan sejak beberapa abad yang lalu, Hadist di jamannya Kanjeng Nabi. Sehingga kalau kita memahami begitu artinya Al Qur’an dan Hadist itu langsung pada Al Qur’an dan Hadist-nya kita gak mungkin mampu. Contoh saja di dalam Al Qur’an itu, Rasulullah ditugaskan litubayyinnas jadi untuk memberikan penjelasan kepada umat itu karena apa bagi orang yang tidak paham kepada Al Qur’an maka harus ditafsiri beberapa atau keterangan yang disampaikan oleh Rasulullah  terus kemudian kita memahami Hadist pun juga kita gak bisa langsung apa…gak bisa langsung menelaah itu juga butuh…butuh penjelasan makanya ada istilah ilmu tafsir, penjabaran dari ulama dulu menyikapi ayat ini menerangkan begini, Hadist pun juga begitu…”

Dalam keterangan selanjutnya, beliau menekankan perbedaan Safiyah NU dan Salafiyah Wahabi berkaitan dengan pentingnya mengikuti tradisi keilmuan para ulama jaman dahulu. Berikut adalah penjelasan yang disampaikan kepada penulis

“dari satu hadist saja kita kemudian butuh penjabaran lah penjabaran itu ya dari ulama-ulama ahli Hadist terus dari para sahabat-sahabat yang lain  turun kepada para Tabi’in-Tabi’in, Tabi’it Tabi’in sampai kepada ulama-ulama sekelas Imam Syafi’I, Imam Hambali, Imam Maliki lah itu yang dipelajari oleh orang NU jadi makanya prinsipnya NU itu kan tetap Alkitab Al Qur-an pegangan, Sunnah, Hadis apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan Ijma’. Ijma’ itu kesepakatan para ulama. Ulama menyepakati bahwasanya Al Qur’an ayat ini menerangkan begini dan itu dengan Hadist ini dan Ketika nanti ada sebuah masalah yang tidak ada tertera dalam Al Qur’an dan Hadist itu pun nanti ada hukum Qiyas. Hukum Qiyas yaitu menyamakan hukum. ……. Sehingga kalau ulama NU, salaf-nya istilah kuno itu adalah mengikuti ulama-ulama jaman dahulu beda dengan salafi wahabi. Kalau salafi wahabi itu lebih mengedepankan langsung pada ngapain kita kepada ulama, langsung saja kita kepada Al Qur’an dan Hadist”.

Dari pernyataan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan pemaknaan istilah Salafiyah NU dengan Salafiyah Wahabi adalah mengenai mengikuti penjabaran dan metode pengajaran oleh ulama-ulama jaman dahulu. Salafiyah NU berpegang teguh pada sanad keilmuan dari Rasulullah Saw yang kemudian turun kepada para Sahabat, para Tabi’in, para Tabi’it Tabi’in hingga sampai pada ulama masa kini. 

Sedangkan salafi wahabi lebih mengedepankan langsung kepada Al Qur’an dan Hadist tanpa penjelasan dari para ulama. Selain itu ciri khas yang menonjol dari Salafiyah NU adalah terbuka dan berbaur dalam masyarakat serta menyesuaikan diri dengan berbagai tradisi kebudayaan sekitar.

Proses Penanaman Nilai-Nilai Kebangsaan melalui Kyai/Pemimpin Pondok Pesantren

Maraknya anggapan dari kelompok tertentu mengenai yang apa terkandung dalam Pancasila dan nasionalisme tidak sesuai dengan Islam maka kyai/pemimpin pondok pesantrenyaitu Gus Muhammad Atho’ullah memberikan pandangannya.

Hal ini dijelaskan dalam wawancara dengan penulis seperti berikut ini:

“Sangat baik… sangat baik bahwa apa, apa yang dicetuskan di dalam Pancasila, lebih-lebih lima sila itu semuanya sudah tercatat di dalam Al Qur’an. Satu, Ketuhanan Yang Maha Esa itu kalau kita kaji kenapa sih dalam Pancasila kok kita tidak menyebutkan ketuhanan Allah, kok tidak KeAllahan Yang Maha Esa tetapi Ketuhanan Yang Maha Esa itu berkiblat kepada Al Qur’an yaitu wailahukum ilahum wahid, tuhanmu itu cuma tuhan yang satu. ……. Kalau di Indonesia itu Pancasila langsung menyebutkan asma Allah pasti nanti orang non muslim akan tersinggung contoh sila kesatu KeAllahan Yang Maha Esa mungkin bagi orang Kristen nanti bagaimana, orang Hindu bagaimana. ……. Terus kemudian apa… permusyawaratan itu jelas kita harus mengadakan musywarah, sidang, rapat dan lain sebagainya. Ya karena fashominhu min atun, jangankan perintah Al Qur’an, Hadist juga ada jadi ketika kamu menghadapi suatu masalah maka bermusyawarahlah. ……. Jadi itu di Al Qur’an, permusyawaratan, persatuan dan kesatuan itu banyak sekali. …….terus kemudian apa, Kemanusiaan… Kemanusiaan yang adil dan beradab itu juga ditemukan  di hadist-hadist Rasulullah itu banyak sekali sehingga disitu semuanya tidak menyimpang dari aturan syariat. Cuma bahasanya saja itu yang diangkat ke bahasa Indonesia”.

Tidak hanya mengenai Pancasila dan nilai-nilai kebangsaan yang terkandung di dalamnya sesuai dengan Islam, beliau juga memberikan pandangan mengenai nasionalisme. 

Pada semua santri kelas tingkat Shifir, Tsanawiyah dan Aliyah, mata pelajaran Al Qur’an dengan materi yang diajarkan tafsir Surat Al Hujurat 13 terkandung nilai nasionalisme atau cinta tanah air dan bangsa.

Lebih lanjut lagi, beliau memberikan penjelasan seperti berikut ini : 

“Rasulullah itu pernah ketika pertama kali hijrah dari Mekkah ke Madinah akan memasuki perbatasan di kota Madinah justru Rasulullah itu kembali menoleh, onta yang dipakai Rasulullah untuk hijrah itu disuruh berhenti kemudian Rasulullah membalik arah yaitu menatap kearah kota Mekkah berarti Rasulullah itu masih keberatan sebenarnya, masih mencintai tanah Mekkah karena Mekkah merupakan tanah kelahiran beliau. Lah dari situ berarti kan Rasulullah sendiri pun ada rasa cinta terhadap tanah air, itu satu. Kemudian kalua di dalam Al Qur’an seperti apa yang diceritakan sejarahnya Nabi Ibrahim rabbij’al hadza baladan aminan jadi Nabi Ibrahim itu sampai berdoa kepada Allah, ya Allah jadikanlah negara ini yang saya tempati ini menjadi negara yang am an dan sentosa. Bahwasanya satu tadi ya Rasulullah yang merasa keberatan meninggalkan tanah kelahiran andai kata Rasulullah itu lahir tidak di Mekkah dan tidak pernah mukim di Mekkah, tidak mungkin Rasulullah akan begini. Terus yang kedua Nabi Ibrahim berdoa kepada Allah rabbij’al hadza baladan aminan, ya Allah jadikan negara ini negara yang aman dan sentosa. Lah itu… itu kenapa Nabi Ibrahim kok memakai lafadznya itu hadza baladan… hadza baladan, negara ini, karena apa Nabi Ibrahim bertempatnya di negara Arab. Andaikata Nabi Ibrahim itu bertempat di Indonesia mungkin ya Indonesia yang didoakan. Banyak sekali di dalam Al Qur’an dan hadist-hadist itu yang menyikapi masalah nasionalisme dan kebangsaan”.

Sesuai dalam kitab pedoman pondok mengenai wawasan kebangsaan halaman 12 dalam pembahasan mengutamakan negara dan masyarakat dengan dalil yang digunakan adalah dari Al Qur’an Surat Al Hasyr ayat 9.

Untuk menekankan terhadap pentingnya negara dan nasionalisme, beliau juga memberikan penjelasan bahwa ketidaktaatan seseorang terhadap pemerintah atau hukum negara ini tidak hanya dapat dikategorikan sebagai tidak nasionalis tetapi tidak taat terhadap perintah Allah. Berikut adalah penjelasan yang disampaikan :

“iya bukan hanya masuk kategori tidak mencintai tanah air, bukan hanya itu tapi dia termasuk orang yang tidak taat terhadap perintah Allah di dalam Al Qur’an itu aṭī’ullāhawa aṭī’ur-rasụla wa ulil-amri minkum. Jadi aṭī’ullāh ikutilah perintahnya Allah, wa rasullah dan juga perintahnya Rasulullah , wa ulil amri dan juga pemimpin yang dadi daerahmu. Selama pemimpin itu tidak menginstruksikan atau menyuruh untuk berbuat sesuatu yang menyimpang dari aturan agama”.

Oleh karena itu, berkaitan dengan penanaman karakter nasionalisme pada generasi muda harus dimulai sejak usia dini. Beliau mencontohkannya sama dengan penanaman pendidikan orang tua kepada anak. Untuk hal ini beliau memberikan penjelasan sebagai berikut :

“Ya karena untuk menanamkan dasar. Pentingnya sebuah dasar kan disitu. Akidah atau yang disebut dengan istilah bahasa Arab, Akidah. Contoh saja begini… Ketika seperti jenengan punya anak … terus kemudian ketika anak sudah mulai mengerti ini sampah, ini kotor dan lain sebagainya. Ayuk dibersihkan, itu seperti itu, itu menunjukkan bahwasanya kita itu ada di dalam rumah, mari kita rawat , kita disini itu bukan rumah orang lain. Ini adalah rumah kita sendiri, ya kita rawat. Karena baik dan buruknya tempat yang kita tempati ya tergantung yang menempati tho. Ya itu penanaman akidah itu pentingnya disitu”.

Selain itu beliau juga mencontohkan internalisasi kebangsaan atau nasionalisme sama dengan pendidikan ke-Aswajaan di lembaga-lembaga NU dengan penekanan pentingnya penanaman akidah di usia dini itu agar kedepannya anak tidak melenceng dari akidah dasar. Berikut penjelasan beliau dalam wawancara dengan penulis :

“Saya dari NU Pakis agak memaksa kepada Dewan Harian Tahfidz itu ke lembaga-lembaga tingkat dasar baik itu SD, MI yaitu untuk memasukkan kurikulum Aswaja (pendidikan kebangsaan tingkatnya global untuk pengenalan saja) ……. karena saya dulu faham NU itu ya, ya mulai dari sejak kecil jadi terbiasa hidup ala NU terus akidahnya akidah NU sehingga ketika nanti saya sudah dewasa terus kemudian timbul apa, timbul pertanyaan kenapa sih kita harus ber-NU, kenapa kita harus mengikuti ulama-ulama dulu  lah itu kan mudah untuk menemukan jawaban kalau sudah punya dasar. Kalau tanpa dasar ya nuwun sewu nggih seperti yang sering terjadi akhir-akhir ini bahkan dari mahasiswa daerah mana di Malang itu juga banyak. Terakhir itu di fakultas-fakultas NU, berbasis NU banyak yang masuk ke HTI. Banyak sekali masuk ke HTI dan Wahabi karena apa, karena dia gak punya dasar, dasar sejak kecil. ……. Itu pentingnya sebuah dasar”.

Dari paparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai kebangsaan yang terkandung di Pancasila (ketuhanan, kemanusiaan, persatuan kesatuan, permusyawaratan, keadilan) dan pemahaman mengenai nasionalisme telah banyak dijelaskan di dalam Al Qur’an dan Hadist.

Begitu pula mengenai pentingnya taat terhadap pemerintah dan hukum negara merupakan sikap nasionalisme dan kepatuhan terhadap perintah Allah Swt.

Sedangkan untuk karakter nasionalisme diibaratkan sebuah dasar atau akidah yang harus ditanamkan sejak usia dini pada jiwa generasi muda. Penanaman nasionalisme harus di usia dini agar kelak setelah dewasa tidak mudah terpengaruh dan melakukan tindakan-tindakan tercela yang menyimpang dari akidah atau dasar yang sudah menjadi warisan nilai-nilai luhur bangsa. 

Majelis Mingguan Kebangsaan 

Proses sosialisasi nilai-nilai kebangsaan di Pondok Pesantren Islam Salafiyah Darul Jalal ini dilakukan dengan cara memberikan materi pembelajaran yang bersifat masuk akal. Hal ini dijelaskan oleh Kyai atau pemimpin pondok pesantren yaitu Gus Muhammad Atho’ullah dalam wawancara dengan penulis seperti berikut ini :

“Dengan cara mengaji, memberikan materi kepada santri terus kemudian pemahaman yang sifatnya… sifatnya akliyah, sifatnya itu bisa masuk akal itu. …….tafsir Pancasila

Pengajian ini dilaksanakan secara rutin dan berkesinambungan pada hari Minggu/Ahad pagi. Dalam pengajian yang disebut dengan nama Majelis Taklim Wawasan Kebangsaan ini dipimpin langsung oleh Gus Muhammad Atho’ullah. 

Kitab pegangan yang digunakan adalah kitab Risalatul  Mua’amalah Bainal Muslimin waL Kafirin (Pergaulan Antara Muslimin dan Kafirin menuju muslim yang berpancasila). 

Kitab yang biasa disebut dengan nama kitab tafsir Pancasila ini dikarang sendiri oleh KH. Abdul Jalaluddin, pendiri pondok pesantren.

Dalam kitab ini terdapat penjelasan mengenai wawasan keIndonesiaan, pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila (P4) bagi umat Islam bangsa Indonesia dan masalah-masalah yang ada hubungannya dengan kemasyarakatan. 

Kitab ini juga menjabarkan secara lengkap dan jelas mulai sila pertama hingga kelima Pancasila serta permasalahan kemasyarakatan yang solusinya direlevankan dengan ayat-ayat Al Qur’an dan Hadist.

Di dalam kitab ini sarat akan nilai-nilai luhur Indonesia seperti tenggang rasa, toleransi, menghormati dan menghargai terhadap sesama, kemanusiaan dan lain sebagainya.

Pada pengajian hari Minggu/Ahad pagi tertanggal 15 Januari 2023. Beliau menjelaskan satu permasalahan kepada para santri mengenai hubungan antara orang muslim dan non muslim yaitu membeli kitab Al Qur’an di toko orang non muslim. 

Berikut adalah penjelasan beliau :

“Dalam kitab Khozinatul Asror halaman 64 sampai 65 ini masih mengenai masalah hubungan kitab Al Qur’an ataupun kitab-kitab yang dimiliki oleh orang Islam terus kemudian itu dijual, yang menjual kitab Al Qur’an tadi itu adalah termasuk orang-orang non muslim atau orang yang kafir maka disitu hukumnya diperbolehkan. ……. Karena kita tidak niatnya, tidak mendukung terhadap masalah urusan keagamannya tapi kita niatnya adalah membeli Al Qur’an. Sehingga kalau kita niat mendukung terhadap agamanya itu nanti urusannya beda karena lakum dinukum waliyaddin. Kadang ada orang yang menyatakan lho brati kalau giti brat kan sama halnya ketika kamu membeli buku disitu berarti kan sama halnya dengan memberikan penghidupan kepada orang lain. Lho kalau memberi penghidupan kepada orang lain jangankan manusia, orang sekafir-kafirnya orang itu tetep dikasih makan oleh Allah masak kita gak boleh”. 

Selanjutnya sesuai dalam kitab pedoman pondok mengenai wawasan kebangsaan halaman 4-5 dalam pembahasan mengembangkan sikap hormat menghormati dan kebebasan beribadah menurut agamanya masing-masing dengan dalil yang digunakan adalah dari Al Qur’an Surat Asyura 15 dan Al An’am 108 berkaitan nilai tenggang rasa dan toleransi terhadap orang-orang non muslim dalam pengajiannya tersebut beliau menjelaskan seperti berikut ini :

“Kafir dzimni pada surat Kafirun yang hidupnya bisa setara dengan umat Islam sama-sama mempunyai, kadang punya gowo yo ngekei nang tanggane sing muslim. Tanggane sing muslim lek kok ono acara mungkin ngehauli atau acara maulid nabi dan lain sebagainya tetep de’e gak diundang karena ini urusan agama, gak usah diundang kalau selesai acara yo diteri . ngunu lho maksude. Itu kan apa untuk menjaga hubungan antar tetangga sesama manusia ……. Makanya kalau orang kafir selama orang itu tidak memusuhi terhadap orang Islam, umat Islam mempunyai kegiatan dia diem saja, dia enak-enak saja maka orang yang demikian itu sama ya kita harus menghormati mereka karena mereka  juga menghormati pada kita. ……. Coba kita lihat bahkan di setiap kota itu pasti ada, setiap ada masjid jami’ kalo gak berhadapan ya bersampingan dengan sebuah gereja. Masjid Sabilillah Belimbing begitu besarnya masjid dihadapannya itu sebelah timurnya juga ada gereja. Masjid Jami’ Alun-Alun, masjid yang begitu megah sebelah utaranya itu juga gereja. Masjid Solo yang diresmikan oleh presiden yang baru-baru ini yang lagi viral , itupun malah sebelah selatan dan sebelah baratnya ada dua gereja. Belum lagi Masjid Istiqlal terbesar se-Asia di depannya pun juga terdapat gereja yang terbesar se-Indonesia. ……. Ternyata begitu gereja besar, terbesar se-Asia justru di kelilingnya juga banyak musholla tapi hidupnya tidak pernah ece-ecean, juga gapapa”.

Gus Muhammad Atho’ullah juga menceritakan pengalamannya saat perjalanan ziarah wali bersama santri yang berkaitan dengan tingginya tingkat toleransi di Bali. Berikut penuturan beliau dalam wawancara dengan penulis : 

“Seperti yang dulu mungkin ada beberapa santri yang ikut ziaroh saya ke Bali. Ketika ada di daerah di masjid Mandala ya kan masjid Mandala satu lahan satu kotak terdapat lima tempat ibadah. Ki pinggir kene masjid, pinggir kene gerejo, pinggir kene pura, pinggir kene Budho. Lima agama jadi satu tempat ibadahnya dan kebetulan yang menjadi takmir di masjid Mandala itu adalah teman seangkatan saya di Lirboyo. ……. Terus habis itu saya ngobrol, lho ini bagaimana ceritanya kok bisa satu lahan satu tempat terdapat lima tempat ibadah, opo yo iso rukun. Bisa, kami bisa … saya itu kalau hari jumat saya pakai jubah, saya pakai imamah semua orang ketika saya melewati disana  pasti semua orang akan menunduk-nunduk dan menghormati pada saya. Itu setiap kali saya di hari Jumat karena saya yang bertindak sebagai imam shalat dan sekaligus menjadi khotib . Tapi kalau di hari minggu saya derajatnya turun drastis bahkan 190 persen… kenapa… saya jadi tukang parkir… dimana… tukang parkir di gereja. ……. Kenapa kok begitu… karena pada setiap hari jumat, saya menjadi imam, saya khotbah bahkan 30 menit lamanya itu jamaah saya bisa aman, ndak kepikiran sepedanya hilang, ndak kepikiran sandalnya tertukar. Itu karena berkat apa, berkat para pendeta dan biara yang selalu menjaga keamanan di sekitar masjid. Kalau memang kita bisa hidup rukun semacam itu ngapain kita perang… saling menjaga. Itu penting”.

Sesuai dalam kitab pedoman pondok mengenai wawasan kebangsaan halaman 7 dalam pembahasan saling mencintai sesama manusia dengan dalil yang digunakan adalah dari referensi Hadits-Bukhari Muslim dan HR Thabrani.

Beliau menjelaskan mengenai toleransi yang terjadi di sekitar pondok pesantren saat peringatan Maulid Nabi dan haul dari Ibu Nyai (Istri dari KH. Abdul Jalaluddin dan sekaligus Ibunda dari Gus Muhammad Atho’ullah) seperti berikut ini :

“Disini juga ada orang non muslim ada tetapi hidupnya juga biasa. Ketika Maulid Nabi, dia gak mau datang ke musholla, dia gak mau datang ke masjid tetapi dia juga buat asaran, ada nasinya ada lauknya, ada ikannya terus kemudian ada buahnya jadi diberikan ke musholla terus kemudian dia pulang. Lah tetanggapun juga harus menghormati karena dia mau menghormati kepada Maulid Nabi umat Islam. Coba direwangi membeli buah, membeli ikan dan lain sebagainya masak dan sebagainya maka umat Islam pun wajib mengimbangi untuk menghormati kepada orang lain, yang dihormati orangnya bukan agamanya. …… Bahkan pun kemarin ketika haulnya bu nyai, orang itu juga datang kesini. Lha wong karena memang dia tujuannya baik ya saya terima. Datang gak pake kerudung ya memang itu bukan tradisi mereka… ngapunten gus kulo bahe tumut haule bu nyai…. Ouh inggih monggo monggo pinarak… sampun gus. Tetap saya berkati karena apa karena dia datang bukan atas nama agamanya tapi dia datang atas nama kemanusiaan. Lah kalau memang kita saat ini bisa hidup rukun semacam itu, kenapa sih kita harus perang. Apalagi kita harus saling mengejek, kan golek penggawean”.

Dari paparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dari pengajian hari Minggu/Ahad pagi yang mempunyai buku atau kitab pegangan yang berjudul kitab Risalatul  Mua’amalah Bainal Muslimin waL Kafirin (Pergaulan Antara Muslimin dan Kafirin menuju muslim yang berpancasila). 

Kitab ini dikarang sendiri oleh pendiri pondok pesantren yaitu KH. Abdul Jalaluddin. Inti sari dari kitab ini adalah Pancasila dan persoalan kemasyarakatan yang solusinya mengambil dalil-dalil dari Al Qur’an, Hadist dan beberapa kitab yang lain. 

Pengajaran kitab yang biasanya disebut kitab tafsir Pancasila ini pada awalnya oleh KH. Abdul Jalaluddin sendiri namun setelah beliaunya meninggal maka diteruskan oleh putranya yaitu Gus Atho’ullah. 

Sekalipun tidak ada materi pelajaran khusus tentang nilai-nilai kebangsaan, Pancasila, UUD’45 ataupun nasionalisme yang tercantum dalam kurikulum namun internalisasi nilai-nilai kebangsaan di Pondok Pesantren Islam Salafiyah Darul Jalal dilakukan sejak masuk hingga lulusnya santri. 

Penyisipan nilai-nilai kebangsaan yang diajarkan di madrasah diniyah dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari di pondok pesantren. 

Mulai dari nilai kekeluargaan, keselarasan, kemanusiaan, toleransi, demokrasi, musyawarah dan lain sebagainya tertanam seluruhnya dalam kehidupan di pondok pesantren.

Praktek Pelaksanaan Nilai-Nilai Kebangsaan Di Pondok Pesantren Islam Salafiyah Darul Jalal

Telah dijelaskan diatas bahwa proses sosialisasi nilai-nilai kebangsaan dilakukan di Pondok Pesantren Islam Salafiyah Darul Jalal di Majelis Taklim Wawasan Kebangsaan di setiap hari Minggu/Ahad pagi dan diselipkan pengajarannya saat pembelajaran di madrasah diniyah. 

Sosialisasi dan prakteknya pun juga terbentuk dalam kehidupan sehari-hari di pondok pesantren menekankan bahwa segala aktifitas di pondok pesantren itu mengandung nilai-nilai kemasyarakatan. 

Artinya ketika di dalam pondok pesantren membentuk satu tujuan yaitu ukhuwah santriyahyang nantinya setelah di masyarakat adalah ukhuwah wathoniyah atau persatuan kebangsaan yang tidak mengenal sekat-sekat primordial baik itu suku, agama maupun ras yang berbeda-beda. 

Hal ini sesuai dalam kitab pedoman pondok mengenai wawasan kebangsaan halaman 12 dalam pembahasan memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan yang ber-bhineka tunggal ika  dengan dalil yang digunakan adalah dari referensi Hadist – HR. Muslim. 

Berkaitan dengan ukhuwah wathoniyah pun pelaksanaannya para santri selalu didorong oleh Kyai/Pemimpin Pondok Pesantren Islam Salafiyah Darul Jalal dan didamping guru/ustadz yang mengajar disana terutama saat perayaan hari-hari nasional atau kebangsaan dengan berbaur dalam masyarakat di berbagai kegiatan. 

Pengibaran Bendera Merah Putih diatas Bendera NU

Terdapat ciri khas yang menonjol dari pondok pesantren Islam Salafiyah Darul Jalal yaitu selalu mengibarkan bendera merah putih yang ukurannya besar diatas bendera NU sebagai organisasi induk dan aliran dari pondok pesantren ini. 

Tindakan simbolis ini menunjukkan bahwa nasionalisme pondok yang besar dengan menempatkan kepentingan Indonesia diatas kepentingan organisasi NU. Mengenai hal ini dituturkan oleh Gus Muhammad Atho’ullah selaku kyai/pemimpin pondok pesantren.

“Coba jenengan lihat di halaman itu. Disitu ada bendera Indonesia yang besar dan dibawahnya ada bendera NU. Intinya bendera NU dibawah bendera merah putih menandakan bahwa kita itu lebih cinta, cinta terhadap tanah air lebih tinggi daripada cinta terhadap sebuah organisasi jadi kepentingan negara didahulukan daripada kepentingan organisasi”.

Perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus

Mengenai perayaan kemerdekaan, Kyai/Pemimpin Pondok Pesantren Islam Salafiyah Darul Jalal yaitu Gus Muhammad Atho’ullah memberikan penjelasan panjang tentang pelaksanaan upacara 17 Agustus para santri kepada penulis dalam wawancara seperti berikut ini :

“……. Cara kita menanamkan jiwa nasionalisme dengan cara seperti halnya memperingati tujuh belasan itu kenapa kita kok harus hormat kepada bendera. Kita menghormati kan bukan pada kainnya tapi kita menghormati pada nilainya. ……. Kita menghormati bendera itu karena bukan lambangnya, bukan kainnya tetapi kandungan yang ada di dalam bendera itu. Jadi yang penting itu di dalam pesantren gak cukup dengan materi… jadi memang harus dikasih contoh… setiap kali tujuh belas Agustus selalu saya ikutkan upacara itu dengan warga sekitar. Bukan di dalam, di luar, saya suruh di luar. Saya bilang ke kepala desa dan perangkatnya, anak santri-santri dari pondok sini mau ikut upacara.Jadi kurang satu bulan itu sudah dilatih sama banser-banser itu, latihan baris terus kemudian apa cara hormat bendera yang benar bagaimana. Terus kemudian santri putri melakukan upacara sendiri. Itu pun kadang saya juga ikut upacara di santri putri karena saya yang jadi inspektur upacaranya, kadang adek saya, kadang saya cuma bagian bagian doa. Tapi minimal kan kita harus memberikan… bahwasanya kan saya mengajak anak-anak dengan materi semacam ini, cinta tanah air, kita praktekkan. Kalau  di pesantren begitu”. 

Pernyataan Gus Muhammad Atho’ullah ini juga diamini oleh kedua guru yang mengajar di pondok pesantren tersebut dan selalu mendampingi para santri saat upacara perayaan kebangsaan dan lomba-lomba yang diadakan di halaman pondok maupun di luar bersama masyarakat. Sifat keterbukaan dengan masyarakat yang menjadikan pondok pesantren ini rujukan bagi lingkungan di sekitarnya. Seperti penjelasan berikut ini :

Ustadz Samsul Hadi:

“Ya sama seperti tujuh belas agustus ya kita upacara sendiri… dulu kalau gak memungkin situasi seperti itu Covid dulu ya, anak-anak upacara sendiri itu di halaman bendera sing direk neng pring iku. ……. Anak-anak itu bangga menjadi warga negara, itu sangat bangga, tidak bisa digantikan. ……. Masyarakat itu kiblatnya kesini misalkan mau mengadakan event apa gitu ya kan izin gus… ndek kene lho mbek arek-arek iso ya disitu jadi ya orang-orang itu kiblatnya disini. Kumpul dari sini lah gampangane”. 

Ustadz Shodiq:

“Anak-anak kan kadang yang laki-laki bersama masyarakat. Perempuan upacara sendiri di halaman itu. …… Latihan sendiri, alami langsung bisa kemudian ditularkan ke teman-temannya atau dari dilatih banser-banser. ……. Upacaranya sama gak ada kekurangan dan kelebihan sama dengan upacara-upacara yang biasa dilaksanakan di umum di sekolahan-sekolahan. Bedanya kalau di sekolah umum pake sepatu disni lah ya pake sandal, pake sarung pake kopiah itu bedane dari fisik tok. Dari fisik memang kebanyakan gradakan dari salafiyah itu ya memang itu memang kalo fisik wooo waktu upacara di Asrikaton ouh sing sarungan ternyata sing sarungan itu lah ternyata sing sarungan itu waktu upacara tambah baik.       Waktu lomba gerak jalan juara satu pernah jaman saya. Pake kopiah. …….  lomba di kampung itu ya ikut panjat pinang dan lain sebaginya. ……. Berbaur dengan masyarakat”.

Peringatan Hari Pahlawan 10 November

Tidak hanya pada 17 Agustus hari kemerdekaan Indonesia namun kegiatan kebangsaan lain seperti hari pahlawan yang diperingati setiap tanggal 10 November, beliau menuturkan juga diadakan tahlil atau doa bersama untuk para pahlawan. Berikut ini adalah penjelasan yang  disampaikan : 

“Hari pahlawan juga  disini mengadakan tahlil karena kita tahu kita harus mengenang jasa. Kita bukan menyembah pahlawannya ndak tapi kita tujuannya adalah mengenang karena apa berkat jasa dari pahlawan dulu sehingga kita saat ini bisa hidup damai seperti ini. Andaikata dulu pahlawan itu kendor dan tidak ada yang memperjuangkan Indonesia mungkin saat ini kita ndak bisa seperti ini, kita ndak bisa ngopi, kita ndak bisa bergurau dengan anak. Karena apa ya seperti di negara-negara Timur Tengah itu kadang enak-enak mau ngaji ya dijatuhi bom. Lah itu kan ujung-ujungnya kekhalifah kan seperti itu. ……. Setidaknya kan berkat para pahlawan itu sehingga kita berterima kasih terhadap para pahlawan  itu karena apa dengan cara mendoakan beliau-beliau atas perjuangannya, mudah-mudahan perjuangannya diterima oleh Allah. Lah kemudian kita berdoanya pun tetap kepada Allah agar apa… agar dengan berkat para pahlawan ini yang telah memperjuangkan tanah ini sehingga Indonesia tetap jaya dan aman seperti saat ini”.

Pengalaman mengikuti perayaan kebangsaan diungkapkan oleh santri yang diwawancarai oleh penulis. Santri ini telah lama mondok untuk belajar kitab kuning dan menceritakan pengalaman serta pendapatnya mengenai hari-hari kebangsaan. Berikut adalah penjelasannya :

Santri : Durrotun Nisa

“Disini pernah diadakan setiap tahunnya pas hari 17 Agustus… menjadi pimpinan upacara. Boleh kita hormat pada bendera itu boleh-boleh aja bukan kita rasa… hormat itu bukan kita untuk menyembah ataupun apa cuma menghormat”

Santri : Riski Kamila

“Jelas Agustus itu setiap tahunnya. Upacara bendera putri sendiri, putra sendiri. Putri di halaman pondok. Seragam putih bawah hitam, yang bertugas memakai jas biru itu seragam pondok. Setiap orang digilir biar bisa. ……. Teng mriki hari nasional teng mading (majalah dinding) niku selamat hari  ngoten biasae. Hari momen-momen tertentu”

Dari paparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa praktek pelaksanaan nilai-nilai kebangsaan di Pondok Pesantren Islam Salafiyah Darul Jalal telah dilakukan terutama saat perayaan kebangsaan setiap tanggal 17 Agustus hari kemerdekaan Indonesia dan 10 November peringatan hari pahlawan dengan upacara bendera maupun tahlil atau doa bersama serta dengan mengadakan berbagai kegiatan perlombaan. 

Perayaan kebangsaan tersebut dilaksanakan secara terbuka dan berbaur dengan masyarakat. (***)

Penulis: Nina Febriyanti

*Dirangkum dari Berbagai Sumber

banner 336x280
banner 728x90
Exit mobile version