banner 728x90

Pentingnya Penguatan Sistem Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Balduinus Ventura (Ketua Lembaga Advokasi Hukum dan HAM PP PMKRI)
Balduinus Ventura (Ketua Lembaga Advokasi Hukum dan HAM PP PMKRI). (Foto: Dokumen Pribadi)
banner 468x60

RUBRIK OPINI – Korupsi merupakan suatu bentuk tindak pidana yang  kompleks untuk diberantas.

Kompleksnya kasus korupsi mengharuskan peran negara untuk berada di garis terdepan dalam memerangi berbagai bentuk tindakan korupsi yang dilakukan oleh aparatus negara.

banner 336x280

Korupsi, dalam Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 juncto Undang-Undang nomor 1 tahun 2021 Tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara melawan hukum.

Nurdjana (1990) pengertian korupsi adalah istilah yang berasal dari bahasa yunani “corruption” yang berarti perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama materil, mental dan hukum. 

Dari beberapa definisi diatas menunjukan bahwa korupsi bukan sekedar merampok untuk kepentingan individu melainkan merugikan perekonomian negara yang dimana didalamnya ada hak-hak masyarakat yang secara tidak langsung menjadi korban dari tindak pidana korupsi.

Keberadaan negara seolah-olah lemah dan takluk dibalik massifnya para pelaku korupsi dengan berbagai modus operandinya.

Membengkaknya penyakit korupsi yang menjalar tubuh birokrasi negara berefek pada rusaknya sendi-sendi kehidupan baik sosial maupun ekonomi.

Korupsi bukan lagi menjadi rahasia umum melainkan semacam suatu keharusan bagi aparatus negara untuk melakukannya.

Semua sektor telah dirasuki dan divirusi oleh penyakit koruptif baik di sektor pajak, peradilan, aparat pemerintahan baik pusat maupun daerah hingga pada level pemerintahan desa. 

Hal ini yang membuat persepsi dan kecemasan publik terhadap negara semakin pesimistis.

Lemahnya Peran Negara Dihadapan Koruptor

Data yang di release Indonesian Corruption Watch (ICW), Indeks Persepsi Korupsi tahun 2022 yang baru saja dilansir oleh Transparency International Indonesia (TII), menunjukan skor Indonesia anjlok empat poin yaitu dari 38 menjadi 34.

Tak cukup itu, peringkat Indonesia pun terjun bebas, dari 96 menjadi 110. Merujuk pada temuan TII, tak salah jika kemudian disimpulkan bahwa Indonesia layak dan pantas dikategorikan sebagai negara korup.

Salah satu diantara sekian banyak variabel yang disorot oleh TII dalam paparan IPK adalah maraknya korupsi politik di Indonesia.

Analisa tersebut tentu benar jika dikaitkan dengan realita saat ini. Bisa dibayangkan, berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi sejak 2004 sampai 2022, pelaku yang berasal dari lingkup politik, baik anggota legislatif maupun kepala daerah, menempati posisi puncak dengan total 521 orang. 

Ini menandakan, program pencegahan maupun penindakan yang diusung pemangku kepentingan gagal total.

Sementara pada sisi yang lain Indonesia yang menganut konsep negara hukum seharusnya pemerintah sangat powerfull untuk memerangi korupsi secara imparsial dengan system yang kuat dan ketat.

Prinsip negara hukum menurut Jimly Asshiddiqie, adalah adanya supremasi hukum juga memiliki fungsi untuk mewujudkan tujuan negara (welfare rechtstaat).

Artinya dalam proses penyelenggaran negara tak terkecuali penegakan hukum dibidang korupsi harus sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Pada prinsip yang lain juga, supremasi hukum harus berorientasi pada kesejahteraan dan kepentingan rakyat. Beberapa tahun terakhir praktek korupsi di negeri ini semakin meluas dan sulit diberantas.

Hal itu dibuktikan dengan meningginya angka korupsi dan pembusukan institusi KPK secara systemic untuk mempengaruhi independensinya.

Reformasi dan transparansi birokrasi hanyalah slogan belaka, banyak koruptor yang lahir dari birokrat strategis kekuasan mulai dari menteri, gubernur, bupati, wali kota hingga aparat desa. Selain itu ada koruptor yang lahir dari lembaga peradilan, lembaga legislative (DPR).

Pada tahun 2022, jumlah putusan yang berhasil terpantau oleh ICW mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu, 2.056 putusan dengan 2.249 terdakwa. 

Rata-rata pidana penjara terdakwa korupsi di tahun 2022 adalah, 3 tahun 4 bulan, dengan total kerugian negara sebesar Rp48.786.368.945.194,70 (Rp48,786 triliun) dengan jumlah nilai suap, gratifikasi, pemerasan, serta pungli sebesar, Rp376.710.554.164 (Rp376,710 miliar), dan jumlah pencucian uang sebesar, Rp244.728.721.490 (Rp244,728 miliar).

Membengkaknya penyakit yang disebabkan oleh virus korupsi ini mengakibatkan ada puluhan triliun hingga ratusan triliun hilang dan lenyap. 

Yang lebih mengerikan kerakusan para koruptor tersebut sudah menjamur disemua sector dan kelembagaan negara, mulai dari sector politik, ekonomi, kesehatan, pendidikan dan sector strategis lainnya.

Para pejabat seolah berdansa ditengah kemiskinan ketimpangan sosial yang terjadi yang menghantui kehidupan publik.

Apa yang Seharusnya Pemerintah Lakukann ?

Pertama, penguatan system terkait pemberantasan korupsi

Pasalnya pasca perubahan Undang-Undang Komisi pemberantasan korupsi menjadi Undang-Undang nomor 19 tahun 2019, banyak publik menilai bahwa dengan munculnya pasal kontroversial yang melegitimasi dan melegalisasi kehadiran dewan pengawas dalam tubuh KPK menyebabkan terbukanya pintu masuk intervensi terhadap komisi pemberantasan korupsi.

Bobroknya dinamika dalam penindakan kasus korupsi termasuk operasi tangkap tangan (OTT) seolah-olah hanya berurusan dengan etika dan administrative padahal secara substansial masalah dalam institusi KPK perlu adanya pengawasan yang kuat dan ketat dari lembaga eksternal baik (DPR) maupun pemerintah.

Masalah dalam tubuh KPK harusnya dievaluasi secara rutin, terbuka dan professional oleh lembaga dewan perwakilan rakyat bersama pemerintah untuk membasmi virus-virus yang merusak keterbukaan informasi, penegakan korupsi yang akuntable dalam menjaga independensi lembaga tersebut.

Apalagi semenjak beberapa tahun terakhir publik meragukan peran dan fungsi lembaga pengawas KPK dalam mewujudkan iklim pemberantasan korupsi yang efektif dan progresif.

Kedua, pengetatan dan penguatan pencegahan tindak pidana korupsi.

Tindakan pencegahan korupsi merupakan salah satu cara yang paling efektif dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. 

Kurikulum edukatif dan prefentif seharusnya menjadi pedomaan bagi  KPK untuk terus berkolaborasi dengan semua elemen, baik masyarakat sipil, organisasi mahasiswa maupun para birokrasi negara untuk terus menjernihkan paradigma aparatus negara dalam meminimalisir praktek korupsi. 

Selain itu, KPK terus wajib mengkampanyekan terkait bahaya korupsi terhadap kelangsungan hidup bernegara ditengah kemiskinan yang meliliti puluhan juta rakyat Indonesia.

Ketiga, memaksimalkan hukuman minimal bagi para koruptor

Salah satu poin kritis yang ada pada undang-undang KUHP yang baru adalah meringankan hukuman minimal bagi koruptor dari empat tahun menjadi dua tahun. Konsekuensinya negara seolah-olah berpihak pada koruptor.

Sehingga, dengan kecilnya hukuman minimal berpotensi melegitimasi penghukuman ringan bagi para koruptor.Ini yang seharusnya diubah oleh pemerintah untuk memaximalisasi hukuman minimum bagi para koruptor sehingga ada efek jera.

Keempat, perlu ada undang-undang khusus terkait penindakan aset para pejabat negara.

Seperti wacana yang membising ditengah publik belakangan ini, bahwa pemerintah telah menyodorkan rancangan undang-undang tentang perampasan aset dalam memerangi proses penggelapan, pencuciaan dan perampokan uang negara oleh para pejabat negara.

Keseriusan dan komitmen pemerintah dan DPR diuji pada titik ini, sehingga KPK dan para penegak hukum bisa memerangi dan memberantas korupsi dari hulu sampe hilir dengan system yang kuat dan ketat. (***)

Opini oleh: Balduinus Ventura (Ketua Lembaga Advokasi Hukum dan HAM PP PMKRI)

banner 336x280
banner 728x90
Exit mobile version