banner 728x90
Opini  

Jalan Rusak, Genangan Air dan Budaya Mengeluh yang Berlebihan

Kemelut Jalan Rusak di Kabupaten Sumenep.
banner 468x60

SUMENEP – Sorotan tentang jalan rusak yang terjadi di beberapa titik di Kabupaten Sumenep belakangan ini membuat banyak warga geram hingga melakukan unjuk rasa dan melayangkan tudingan-tudingan negatif pada pemangku kebijakan. 

Sebut saja jalan rusak di Kecamatan Talango, Kecamatan Kangean, Kecamatan Ganding, Kecamatan Sapeken dan Kecamatan Kota.

banner 336x280

Beberapa protes dari warga empat kecamatan tersebut mewarnai jagad kehidupan Bumi Sumekar, seperti, aksi memancing di tengah genangan air, aksi patungan warga hingga mampu memperbaiki jalannya sendiri dan aksi menyampaikan kritik melalui nyanyian-nyanyian. 

Sebagai seorang yang pernah menjadi aktivis, awalnya saya berpikir tindakan tersebut wajar saja bila dilakukan warga. 

Mereka adalah warga yang tentu ingin merasakan fasilitas berselancar dengan aman dan nyaman. Jalan rusak dan genangan air tentu akan selalu dikeluhkan yang dilayangkan. Pikir saya. 

Namun, ada sejumlah gejala dan kejanggalan yang membuat saya tidak menyetujui tindakan, aksi dan protes yang hidup menjadi respons masyarakat atas jalan rusak, genangan air dan sebagainya. 

Gejala-gejala ini mungkin disadari, mungkin tidak. Kejanggalan ini mungkin disengaja, atau tidak disengaja. Kendati itu adalah naturalitas atau sebaliknya, saya menyadarinya bahwa ia membentuk semacam ‘candu’ jika tidak divalidasi keberadaannya. 

Apa Hubungannya dengan Bupati Achmad Fauzi ? – 

Masyarakat berpikir, urusan jalan tentu adalah urusan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumenep. Dalam hal ini, mesti diingat bahwa pemerintah dikomandoi oleh pemegang roda, yang biasa disebut bupati. 

Sederhananya, masyarakat akan berpikir bahwa jalan ini sepenuhnya tanggung jawab Bupati Achmad Fauzi, sebagai pemegang dan pengendali roda Sumenep saat ini. 

Di titik ini, awalnya saya berpikir untuk menyetujui pola berpikir sederhana tersebut. Sebelum membenarkannya, saya merenung, berpikir mendalam dan berpikir menyeluruh.

Dari berbagai sisi, ingatan dan cara pandang yang saya temui dari perenungan tersebut, saya akhirnya memilih menahan diri untuk membenarkan, bahkan untuk sekadar menyetujui, saya berhati-hati betul untuk melakukannya. 

Dalam perenungan, saya kemudian teringat video yang viral beredar di YouTube beberapa waktu lalu. Video itu menayangkan keluhan warga pada Ganjar Pranowo (yang baru diumumkan sebagai Calon Presiden) tentang jalan rusak di Jawa Tengah yang tak kunjung diperbaiki. 

Respons Ganjar, pada video tersebut, adalah sesuatu yang diingat dan membatin pada diri saya dalam perenungan. 

Dalam video tersebut, Gubernur Jawa Tengah itu mengatakan, “mana kepala desanya, mana camatnya”.

Jika itu soal jalan rusak, lanjut Ganjar, bagaimana respons, langkah dan keputusan yang diambil kepala desa. 

Kemudian, bagaimana pula respons dan upaya yang dilakukan oleh pemerintah di tingkat kecamatan. 

Dari hal ini, saya kemudian berpikir bahwa semua jalan yang rusak memang ujungnya akan menjadi tanggungjawab bupati, gubernur bahkan presiden. 

Namun, sebelum jauh ke sana, mari pertanyakan terlebih dahulu bagaimana respons, kepedulian dan perhatian pemerintah terdekat dan berkaitan terhadap jalan tersebut. 

Jangan sampai warga berada di situasi mengorbankan bupati, mengkritiknya habis-habisan, menduganya ‘tidak peduli’ dan ‘tidak bekerja untuk rakyat’, padahal sebenarnya hal tersebut mestinya ditanyakan terlebih dahulu kepada kapala desa, camat hingga kepala dinas yang mengurusi persoalan tersebut. 

Bahwa jalan rusak di Sumenep, pada ujungnya akan menjadi tanggung jawab Bupati Achmad Fauzi, iya. 

Namun, mari ujarkan pertanyaan dan keluhan tersebut pada pemerintah yang radiusnya lebih dekat dan kaitannya erat. “Kepala desa dan camatnya mana,”. 

Tentu, berkomunikasi dengan sesuatu yang bersifat ‘erat’ bakal lebih beretika daripada harus ngoyo berkomunikasi langsung kepada sesuatu yang bersifat ‘ujung’. 

Budaya Mengeluh yang Berlebihan – 

Protes dan aksi yang dilakukan warga atas kerusakan jalan mungkin memang belum disampaikan secara lisan ataupun tertulis terhadap pemerintah tingkat desa hingga pemerintah kecamatan. Mungkin saja sudah. Tetapi belum juga direspons oleh dinas terkait. 

Mungkin saja sudah direspons, namun karena lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah membuat mereka tak sabar, meminta dilakukan percepatan, mendorong langkah sigap dilakukannya perbaikan hingga protes kemudian tak berlangsung sehari, hingga protes kemudian disusul dengan protes lagi, berjilid-jilid dan berkali-kali. 

Saya berpikir bahwa kurangnya kesabaran seperti dimaksud akan membentuk efek semacam ‘candu’, semacam ‘adiksi’ dan keinginan untuk mencapai sesuatu secara berlebihan. 

Bahwa pemerintah telah memberi statement untuk memperbaiki, maka mari menunggu realisasinya dengan sabar. 

Karena, hemat saya, seluruh protes yang telah didengar, akan dijadwalkan realisasinya sesuai dengan perhitungan-perhitungan yang dimasak matang-matang. 

Apalagi, kita saat ini tak lagi hidup di ‘Era Soeharto’. Era saat aktivis dan demonstrans banyak yang lenyap lalu kemudian suatu waktu ditemukan terlantar di pinggir sungai dalam keadaan tak bernyawa. 

Hidup di Indonesia, apalagi di Kota Keris, tak lagi sesadis kejadian-kejadian itu. Di bawah kendali Bupati Fauzi, perbaikan jalan, dikeluhkan atau tidak, baik kepulauan maupun daratan, akan terus dilakukan. Tinggal, mari menunggu dengan bermodalkan sabar dan kepercayaan. 

Memahami Seni: Senjata Menyampaikan Pendapat – 

Bupati Fauzi bukan selemah-lemahnya manusia hingga tak bisa melakukan sejumlah protes, aksi dan unjuk rasa. 

Pria yang pernah berjuang keras di perantauan itu punya segudang cara untuk mengupayakan hal-hal tersebut. Termasuk pula, gagasannya untuk mereaktivasi jalur rel kereta api. 

Kendati begitu, Bupati Fauzi bukan pula selemah-lemahnya manusia yang tak paham seni dan beretika dalam berkomunikasi. 

Ia sadar memiliki kunci, tetapi ia juga mengerti bagaimana memegang dan mengendalikan kunci tersebut untuk melakukan sesuatu dengan cara baik dan benar. 

Usulan mereaktivasi jalur kereta api di depan Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani tempo lalu, bagi saya, dan mungkin beberapa orang lainnya, memberi sirat dan pesan yang jelas. 

Bahwa boleh dan sah-sah saja memiliki keinginan dan cita-cita. Bahwa sah jika Anda memiliki impian dan harapan. 

Tetapi mari sampaikan hal itu dengan hati santun dan dingin kepala. Mari menuturkannya dengan tanpa murka dan tanpa mendongakkan kepala. (***)

Opini oleh : Al-Qarni, Jurnalis Sumenep

banner 336x280
banner 728x90
Exit mobile version