banner 728x90

Problematika Pertanian dan Deagrarianisasi di Jawa Timur

DPD GMNI Jatim
Ketua Hendra Prayogi (Kiri) dan Sekretaris Ach Ainur Rohman (Kanan), DPD GMNI Jatim Periode 2023-2025. (Foto: Ist)
banner 468x60

RUBRIKA – Laju alih fungsi lahan pertanian di Jawa Timur (Jatim) tercatat tinggi. Kondisi ini rawan mengancam ketahanan pangan Negara Indonesia mengingat Provinsi Jatim sebagai salah satu penopang produksi pangan di Indonesia.

Namun alih fungsi lahan pertanian di Jatim tetaplah terjadi, seperti yang tertera pada data menurut Jawa Timur Dalam Angka tahun 2019 hingga 2023 terjadi penurunan luasan lahan panen produksi padi yang semula pada tahun 2018 seluas 1.828.700 ha dan pada tahun 2022 menjadi 1.704.759 ha sehingga tercatat 123.941 ha telah beralih fungsi.

banner 336x280

Penurunan produksi padi di Jatim terjadi sebesar 851,162 ton terhitung dari produksi pada tahun 2018 sejumlah 10.537.922 ton hingga tahun 2022 menjadi 9.686.760 ton. Hal ini disebabkan oleh terjadinya penurunan produktivitas lahan pertanian padi.

“Menurunnya produktivitas lahan yang berdampak pada merosotnya produksi padi merupakan salah satu stimulan yang menyebabkan beralihnya lahan pertanian, dikarenakan petani merasakan kerugian yang terhitung dari production cost on farm mereka tidak sebanding dengan hasil penjualan gabah kering giling ataupun panen mereka,” ujar Ketua DPD GMNI Jatim, Hendra Prayogi, Rabu (27/09/2023).

Petani sebagai pelaku utama dalam mencapai keberhasilan pembangunan pertanian dan berkontribusi bagi kelangsungan pemenuhan kebutuhan pangan saat ini masih banyak yang belum berdaya dan mendapatkan upaya perlindungan yang sistematis dan berkelanjutan.

“Pada kenyataanya petani di Jawa Timur belum memperoleh perlindungan dan pemberdayaan serupa,” tegasnya.

Alih fungsi lahan pertanian salah satunya disebabkan oleh pemanfaatan lahan sebagai pertambangan ilegal. Fenomena penambangan ilegal menjadi salah satu penyebab kerusakan lingkungan di beberapa daerah di Jatim khususnya kerusakan ekosistem dan daya dukung lahan pertanian serta di sepanjang daerah aliran sungai yang melintasi daerah Jatim.

Beberapa hal terkait alih fungsi lahan telah berkembang menjadi isu agraria. Berdasarkan catatan akhir tahun 2022 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), luasan wilayah terdampak konflik agraria pada tahun 2022 mencapai 1,03 juta hektar atau meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya secara nasional.

Lalu, sedikitnya 364.000 keluarga terdampak akibat konflik agraria. Jawa Timur merupakan provinsi yang mengalami kenaikan yang cukup drastis terkait konflik agraria dari tahun ke tahun.

“Meledaknya konflik agraria yang terjadi di setiap daerah terjadi karena belum ada upaya menuntaskan konflik agraria yang bersifat structural dan mekanisme penyelesaian yang tidak berpihak kepada masyarakat,” ucap pimpinan GMNI Jawa Timur tersebut.

Hal-hal yang meliputi alih fungsi lahan, penurunan produktivitas pertanian, tidak terjaminnya perlindungan dan pemberdayaan petani serta sederet timbulnya isu-isu konflik agraria telah berhasil memicu fenomena deagrarianisasi menjadi semakin penting di kalangan petani maupun wilayah pedesaan di Jawa Timur.

“Dalam hal ini menyebabkan peningkatan jumlah rumah tangga petani yang tidak lagi berkomitmen untuk produksi pertanian, sehingga berdampak pada penggunaan lahan pertanian yang semakin intensif penurunannya (dinonaktifkan) atau bahkan sepenuhnya ditinggalkan peruntukkannya pada sector pertanian. Situasi ini menyebabkan lanskap lahan pertanian berubah dikarenakan lahan yang tidak lagi dikelola secara produktif untuk bercocok tanam,” ujarnya.

Deagrarianisasi merupakan ekses dari modernisasi dan pembangunan yang mengancam ketahanan agraria karena lanskap produktif berganti menjadi lanskap konsumtif, serta berhasil menempatkan pertanian bukan sebagai sektor primer, namun berkembang menjadi suatu sektor tersier. (***)

banner 336x280
banner 728x90
Exit mobile version