banner 728x250
Opini  

Pilpres 2024 dalam Percaturan Politik Global

Balduinus Ventura, Ketua Lembaga Advokasi Hukum dan HAM PP PMKRI. (Foto: Dok. Pribadi)

RUBRIKA – Kontestasi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia pada Pemilu 2024 merupakan momentum yang dinantikan rakyat untuk memilih pemimpin baru.

Pemilu yang lazim disebut pesta rakyat tentu tidak sekedar memilih figur semata melainkan menentukan sosok yang memiliki kapasitas, kapabilitas dan visioneritas dalam menahkodai Indonesia selama lima tahun kedepan.

banner 336x280

Indonesia sebagai bagian dari dunia internasional tentu tidak terlepas dari relasi dan percaturan politik global yang saling mempengaruhi antara suatu negara dan negara lain.

Posisi Indonesia yang sangat sexy dan strategis dalam berbagai aspek lebih khusus dari segi ekonomi justru membuat negara besar dunia tergoda untuk mengambil peran dalam dinamika pemilihan presiden (pilpres) mendatang.

Negara dengan sumber daya alam terbesar di dunia, seharusnya menjadi peluang sekaligus tantangan bagi para calon presiden untuk membawa Indonesia kearah yang lebih baik berdasarkan kepentingan nasionalnya.

Ditengah ekosistem globalisasi dan sistem ekonomi yang semakin terbuka, Indonesia sebagai negara berkembang harus mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaan tanpa di dikte dan dikendalikan oleh negara kapitalis-imperialis.

Politik Penindasan Negara Imperialis

Imperialisme menurut Allan Bullock (1986) merupakan penaklukan warga negara kepada daerah lain dengan ketetapan hukum melalui sebuah kekuasaan dan mengeksploitasi ekonomi dan finansial.

Pada perspektif yang lain imperialisme dapat diartikan kapitalisme yang mendunia.

Pasca kemerdekaan, praktik penghisapan dan penjajahan yang dilakukan negara besar (imperialis) tidak lagi dilakukan secara fisik/senjata seperti era penjajahan melainkan dengan menggunakan system yang mengerdilkan dan memiskinkan negara-negara berkembang/baru merdeka.

Baca Juga:   Soal Duet Anies Baswedan-Cak Imin, PDI Perjuangan Singgung Politik Dagang Sapi

Instrument yang dipakai oleh negara besar yang berhaluan idiologis (Capitalistic-imperialistic) tak lain adalah neoliberalisme dan neo-imperialisme.

Abdul Ghopur dalam bukunya berjudul “Quo Vadis Nasionalisme?” menjelaskan bahwa, pasca berakhirnya perang dunia kedua, negara imperialis-kapitalis telah bersepakat untuk mengakhiri  penjajahan dengan senjata tetapi hasrat untuk menjajah tidak pernah berakhir.

Negara imperialis menggunakan senjata ekonomi politik neo-liebral dan neo imperialisme untuk mengendalikan negara bekas jajahannya yang ditandai dengan adanya pertemuan Bretton Woods tahun 1944.

Dalam pertemuan tersebut negara-negara imperialis merumuskan strategi baru dalam mengendalikan negara-negara berkembang, secara ekonomi mereka mendirikan world bank, International monetary fund (IMF) dan general agreement on tariffs and trade (GATT) yang kemudian berubah nama menjadi world tradding organization (WTO).

Lembaga–lembaga ekonomi politik intrnasional itu tak lain untuk mengendalikan negara-negara yang baru merdeka sekaligus alat untuk “cuci tangan” yang seolah-olah lewat lembaga itu mereka memberikan bantuan ekonomi dan perlindungan pada negara bekas jajahannya padahal faktanya justru negara-negara berkembang sulit maju akibat cengkraman dan penghisapan sumber daya yang dilakukan negara imperialis.

Perang Idiologi atau biasa disebut perang dingin sebagai arena pertempuran dua kekuatan besar dunia antara Blok Barat dibawa pimpinan Amerika Serikat dan Blok Timur dibawa pimpinan Uni Soviet sesungguhnya upaya mengglobalkan demokrasi-kapitalisme dan sosialis-komunisme dinegara postcolonial.

Indonesia sebagai negara baru merdeka, ditengah kepungan dan cengkraman dua idiologi besar itu pada ujungnya terseret pada pengaruh barat (blok kapitali-imperialis).

Baca Juga:   Degradasi Partai Politik dan Kedaulatan Rakyat

Liberalisasi ekonomi Indonesia menjadi titik awal dari pengendalian ekonomi oleh negara imperialis/tangan asing.

Masuknya modal asing melalui system dibuktikan dengan lahirnya undang-undang penanaman modal asing nomor 1 tahun 1967.

Kemandirian ekonomi sekedar menjadi slogan sementara liberalisasi dan privatisasi dimana-mana. 

Ekonomi dikendalikan oleh kapitalisme global melalui politik utang luar negeri, mengelola sumber daya alam secara sembrono, kekayaan alam dikuasai para kapitalis, pelanggaran hak asasi manusia, ketimpangan ekonomi yang semakin meluas dan struktur ekonomi yang mepermurah upah buruh.

Menagih Visi Calon Presiden dalam Ekonomi Politik Global

Para founding fathers dan pemimpin awal kemerdekaan, telah menunjukan sikap politik luar negerinya yang bebas dan aktif.

Selain menunjukan sikap netral dan ketidak tergantungan diantara blok Barat dan Timur, Indonesia juga menegaskan kepada publik internasional bahwa Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat berdiri, bertindak dan berjuang atas kepentingan nasionalnya bukan diatur-atur negara diatur oleh negara imperialis.

Sejarah berkembang, spirit dan semangat tersebut rohnya tahap demi tahap, rezim demi rezim dan dari orde ke orde mengalami pemudaran makna hingga berefek pada praktek yang menyimpang dari spirit perjuangan awal para pendiri bangsa.

Indonesia sepertinya kehilangan pegangan ditengah gelombang pertarungan kekuatan dunia.

Ditengah persaingan ekonomi China dan Amerika belakangan ini, dunia ditantang untuk menunjukan konsistensinya dalam mewujudkan system ekonomi nasional yang berpihak pada rakyatnya.

Baca Juga:   Implementasi Pendidikan Filsafat Dasar Pada Kurikulum SMA untuk Membangun Pondasi Bela Negara

Sementara disisi lain, ada dua kekuatan global  yang potensial menjadi sandaran/ketergantungan negara-negara berkembang baik untuk bantuan ekonomi, berutang, maupun ivestasi.

Indonesia sebagai negara besar sudah seharusnya bangkit dari penindasan dan pembiusan negara imperialis yang melegitimasi kemiskinan, keterpurukan dan keterbelakangan Indonesia selama bertahun-tahun.

Kita dihipnotis dan dibodohi, oleh permainan imperialisme dan neo-liberaslisme yang menyedot, merapok sumber daya alam kita dan mengerdilkan peran pemerintah dengan pola penjajahan modern.

Oleh karena menguatnya dominasi dua negara besar dunia, calon pemimpin Indonesia harus berpikir dan bertindak progresif-revolusioner dan mengglobal.

Para kandidat calon presiden harus mampu menghubungkan dan menjelaskan kepada masyarakat Indonesia terkait kondisi geo-ekonomi dan geo-politik dunia dan efeknya terhadap kebijakan ekonomi Indonesia.

Selain itu, para calon presiden tidak menjadi robot atau kacung dari negara imperialis dunia, untuk meminimalisir manuver para mafia global yang berupaya merampok sumber daya alam Indonesia yang mengatasnamakan investasi sekaligus mampu untuk menjadi pemain di perpolitikan dunia (global player).

Para calon kandidat juga, dituntun untuk mewujudkan system ekonomi yang sosialistik, dimana pemerintah harus powerfull dalam mengatur dan mendistribusikan keadilan ekonomi tanpa diatur atau didikte oleh negara besar/kapitalis global.

Sehingga kewajiban konstitusional pemerintah dalam mewujudkan demokrasi ekonomi, kesejahteraan dan berkeadilan dirasakan oleh rakyat. (***)

Opini oleh: Balduinus Ventura/Ketua Lembaga Advokasi Hukum dan HAM PP PMKRI

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *