banner 728x250
Opini  

Pj Gubernur Baru Harapan Baru Kasus Pelanggaran HAM Aceh Dibawa Kemana? 

Setia Kurniawan, Pemerhati Hukum dan HAM, Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang.

Oleh: Setia Kurniawan (Pemerhati Hukum dan HAM, Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang)

Dewasa ini tanpa kita sadari bahwa lebih kurang 17 tahun sudah usia perdamaian Aceh atau kerab di sebut dengan Perjanjian MoU Helsinki RI-GAM Tahun 2005 yang dilatar belakangi Konflik yang melihat sejarah Aceh dari masa ke masa dan dianggap memiliki daya juang yang tinggi dalam hal mengusir penjajah dari tanah air sesuai dengan catatan Histori yang di lansir beberapa buku dan media.

banner 336x280

Pergantian setiap kepemimpinan mengingatkan kita akan sejumlah isi perjanjian yang ditandatangani di Finlandia itu masih menuai sejumlah catatan bahkan sejumlah permasalahan masih memasuki lorong yang gelap atau jalan yang buntu salah satunya terkait dengan penyelesaian pelanggaran HAM (Hiuman right) yang terjadi dalam kurun waktu 1979-2005 yang di perparah pada tahun 1998 bumi serambi Mekah diberlakukan sebagai daerah Operasi Militer atau disebut operasi jaring merah.

Rakyat pada masa itu hidup didalam berbagai tekanan, pasca itu melalui banyak tulisan di jurnal-jurnal maupun artikel karya ilmiah bahwa Komisaris Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan beberapa LSM lainnya menemukan sejumlah bukti bahwa telah terjadi Pelanggaran HAM berat atau Genosida di Bumi Sultan Iskandar muda.

Baca Juga:   Putusan MKMK Ditengah Krisisnya Legitimasi Mahkamah Konstitusi

Perjanjian MoU Helsinki RI-GAM tahun 2005 menjadi harapan bagi para korban untuk mendapatkan hak-hak nya sebagai bentuk menyembuhkan luka lama pasca konflik yang berkepanjangan.

Pada bagian ke-2 tentang hak Asasi Manusia disebutkan Poin 2.1 Pemerintah Indonesia akan mematuhi Konvenan Internasional perserikatan bangsa-bangsa terkait dengan hak-hak sipil, Poin 2.2 bahwa pengadilan HAM akan dibentuk untuk Aceh, dan 2.3 menjelaskan tentang akan di bentuk KKR Aceh (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh) tentu hal ini menjadi kabar gembira bagi masyarakat Aceh khususnya para korban Pelanggaran HAM masa lalu.

Tidak berhenti sampai disitu penyelesaian kasus HAM Aceh kembali di amanatkan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Bab tentang Hak Asasi Manusia Pasal 227 sampai dengan 230 yang menyebutkan Pengadilan HAM Aceh dan KKR Aceh akan dibentuk dan bekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan namun sangat disayangkan 3 bulan setelah UUPA 11/2006 di Undangkan ternyata Undangan-Undangan Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena beberapa pasal bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Baca Juga:   Punya Peran Besar, KPK Gandeng Media Berantas Korupsi

Harusnya Undang-undang tersebut menjadi payung hukum dari KKR Aceh yang diamanatkan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang mana disebutkan pada Bab tentang HAM bahwa KKR Aceh adalah bagian yang tidak terpisahkan dari KKR Nasional.

Lalu bagaimana mungkin KKR Aceh menjadi bagian dari sesuatu yang tidak ada, oleh karena itu harapan saya selaku masyarakat dan Pemuda Aceh agar Bapak PJ Gubernur Aceh 2022-2024 memberi Sinyal atau Koneksi kepada Pemerintah Pusat bagaimana dengan penyelesaian Pelanggaran HAM Aceh ?

Supaya permasalahan ini tidak selalu berada di jalan yang buntu serta tidak lagi menjadi bahan yang memiliki daya tarik yang tinggi untuk menarik perhatian publik dalam meraup suara di kalangan elit politik Aceh.

Jika kita melihat dan mengkaji secara Yuridis sebenarnya KKRA (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh) sudah bisa bekerja sesuai Qanun Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh dengan menerapkan Asas Lex Sepesialis Derogat Legi Generalis yang artinya hukum yang khusus dapat mengenyampingkan hukum umum karena harus di ingat bahwa pembentukan KKRA adalah amanat dari MoU Helsinki yang memiliki Konstitusionalitas yang cukup tinggi dan tidak dapat di kesampingkan oleh peraturan perundang-undangan manapun.

Baca Juga:   Maksimalkan Pelayanan Publik, DPUPR Kota Malang Gelar Sosialisasi PSU

Maka harapan kedua melalui tulisan ini adalah agar Bapak PJ Gubernur Aceh mendukung penuh kegiatan dan tujuan KKR Aceh termasuk juga membuka akses agar pemerintah pusat tidak abai dan menutup mata dalam persoalan bangsa yang menurut penulis cukup urgen dan serius agar bisa mengungkap fakta sehingga bisa memberikan hak-hak korban serta membawa pelaku pelanggaran HAM ke pengadilan.

KKRA tidak boleh berhenti di tengah jalan harus terus bekerja dan memperkuat tujuannya sesuai isi dari pada Qanun Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh agar tercapainya tahap Rekonsiliasi, dapat bekerja dengan berbagai cara serta melakukan hubungan kerjasama dengan Komnas HAM dan lembaga lainnya.

Bercerita tentang Kasus HAM masa lalu di Aceh memang seperti meratapi luka lama dan seperti luka di taburi garam namun semua itu memang pantang untuk kita lupakan karena negara ini adalah Negara hukum yang dijelaskan didalam UUD 1945 Pasal 1 ayat 3, dan Pancasila pada sila kelima tentang Keadilan maka sudah sepatutnya negara bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat di Aceh dan korban harus mendapatkan hak-haknya.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *