banner 728x90

Gerak Politik Perempuan Indonesia dari Masa ke Masa dan Tinjauan Feminismenya

Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Nina Dwitya Febriyanti.
banner 468x60

oleh: Nina Dwitya Febriyanti

Perempuan dan politik bukanlah hal yang baru, tabu atau mustahil dilakukan. Perempuan dapat berpolitik kapanpun, dimanapun dan pada masa apapun. Sebelum pembahasan mengenai perempuan dan politik, terlebih dahulu dapat ditinjau pengertian politik dalam teori klasik yang dikemukakan oleh Aristoteles bahwa politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.

banner 336x280

Dalam pengertian tersebut secara sederhana dapat diambil tiga faktor pokok yaitu warga negara, kepentingan dan tujuan. Jika tiga hal ini dikenakan pada perempuan maka perempuan juga termasuk warga negara, perempuan juga mempunyai kepentingan dan tujuan dalam hidupnya.

Perempuan Indonesia yang merupakan bagian dari perempuan dunia juga mempunyai gerak politik sendiri dari masa ke masa dan mengalami pasang surut dalam perjuangannya.  Seperti pada pepatah “Setiap orang ada masanya dan setiap masa ada orangnya”. Setiap masa memunculkan beberapa orang yang pemikiran dan tindakan mereka menjadikannya tokoh besar kemudian menginspirasi pada masa selanjutnya untuk melahirkan tokoh-tokoh besar lain.

Dimulai dari masa kerajaan Nusantara yang bercorak Hindu-Buddha sampai masa kontemporer seperti sekarang ini,  pergerakan politik perempuan Indonesia selalu ada dengan munculnya beberapa perempuan yang menonjol dan berani mendobrak keumuman pada masanya.

Pada masa kerajaan ada beberapa pemimpin perempuan seperti Sultanah Nahrasiyah, Keumalahayati, Ratu Shima, Gayatri, Tribuanatunggadewi dan lain-lain. Walaupun para pemimpin perempuan ini naik tahta atau jabatan dikarenakan factor istimewa yaitu keturunan namun nama mereka tercatat dalam sejarah dan menjadi inspirasi bagi perempuan-perempuan Indonesia masa setelahnya.

Di masa kolonial, gerak politik perempuan yang dilakukan beberapa tokoh seperti Cut Nyak Dien, Rohana Kudus, RA. Kartini, Dewi Sartika, Nyi Ageng Serang dan lain-lain juga turut mewarnai kancah perjuangan politik melawan kolonialisme dengan cara-cara mereka mulai dari berperang ataupun membentuk perkumpulan-perkumpulan untuk kepentingan perempuan.

Pada masa pergerakan kemerdekaan Indonesia, terbentuk beberapa organisasi perempuan seperti Aisyiyah, Purborini, Poetri Mardika, Wanita Susilo, Poetri Boedi Sejati dan lain-lain. Dalam hal perjuangan pergerakan nasional, organisasi-organisasi perempuan bergabung dan membentuk badan federasi wanita yang bernama Kongres Wanita Indonesia (KOWANI).

Tujuannya adalah berjuang untuk membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan dan kebodohan. Dalam badan federasi ini, berbagai usaha dan bentuk perjuangan bangsa dapat dilakukan secara terpadu.

Gerak dinamis politik perempuan di masa perjuangan kemerdekaan Indonesia harus mereda dan padam pada masa Orde Baru. Pada era kepemimpinan Soeharto saat itu, organisasi perempuan lebih kepada struktur dibawah Orde Baru.

Organisasi PKK dan Dharma Wanita hanya menjadi pelaksana program pemerintah tanpa pengambilan keputusan politik meskipun itu berkaitan dengan kepentingan perempuan. Semua kebijakan tersentralisasi dari atas.

Pasca masa Reformasi, gerak perempuan kembali menggeliat dengan lahirnya ormas-ormas atau LSM yang bergerak untuk kepentingan perempuan. Selain itu dikeluarkan juga beberapa aturan yang menjadi dasar hukum mengenai hak politik perempuan seperti berikut ini :

  1. Pasal 46 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan: “sistem pemilihan umum, kepartian, pemilihan anggota badan legislatif dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif dan yudikatif harus menjadi keterwakilan perempuan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan”.
  2. UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, kuota 30% keterwakilan perempuan ini di mapankan dalam bentuk tindakan afirmatif (affirmative action) dalam lembaga penyelenggara pemilu
    ataupun dalam kesempatan menjadi kontestan electoral (kandidat/calon legisalatif).

Kedua kebijakan ini menjadi tanda sah dan legalnya gerak politik untuk perempuan sekaligus menjadi bukti  perkembangan demokrasi Indonesia yang diperjuangkan dalam tuntutan Reformasi ‘98.

Produk hukum yang dihasilkan pemerintah untuk mewadahi kepentingan perempuan dengan keterwakilannya di Parlemen berbanding terbalik dengan data World Bank yang menyatakan bahwa partisipasi perempuan Indonesia dalam Parlemen masih sangat rendah. Menurut data dari World Bank tahun 2019, negara Indonesia menduduki peringkat ke-7 se-Asia Tenggara untuk keterwakilan perempuan di Parlemen.

Rendahnya angka ini sangat berpengaruh terhadap isu kebijakan terkait kesetaraan gender dan beberapa masalah utama yang dihadapi oleh perempuan. Karena kebijakan tentang perempuan juga berkaitan dengan anak-anak. Oleh karena itu keterwakilan perempuan dalam parlemen sangatlah penting untuk mengakomodasikan kepentingan dan menghasilkan kebijakan-kebijakan politik yang pro perempuan dan anak-anak.

Walaupun begitu pasca kejatuhan rezim Soeharto, gaung politik local yang menghancurkan gaya sentralisasi (corak pemerintahan Soeharto) memunculkan pembaruan-pembaruan politik seperti naiknya tokoh-tokoh perempuan ke panggung politik Indonesia. Pada pemerintahan pusat ini diawali dengan terpilihnya presiden perempuan pertama untuk Indonesia pada tahun 2001, yaitu Megawati Soekarno Putri; dan demikian juga telah ditetapkan UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Aggota DPR, DPD dan DPRD yang menetapkan kuota 30% keterwakilan perempuan pada lembaga legislative.

Selanjutnya  perpolitikan daerah juga diwarnai dengan beberapa tokoh perempuan yang mengisi kursi Parlemen di daerah atau sebagai pemimpin daerah. Para perempuan dalam perpolitikan local ini, beberapa, kemunculannya terkait dengan jejaring oligarki atau dinasti politik di daerah yang terbangun biasanya dari factor keturunan yang kemudian berkembang menjadi keluarga besar yang berpolitik bersama di suatu pemerintahan daerah atau lintas daerah. Contohnya seperti dinasti Yasin Limpo di Sulawesi dan dinasti Ratu Atut di Banten.

Dari uraian diatas mengenai gerak politik perempuan Indonesia dari masa ke masa jika ditinjau dari beberapa aliran utama feminisme seperti feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme marxis-sosialis dan feminisme kultural maka gerak politik perempuan di Indonesia dapat dikategorikan dalam aliran feminisme liberal. Aliran Feminisme Libera ini mendasarkan pemikirannya pada konsep liberal bahwa wanita dan pria diciptakan sama dan mempunyai hak dan kesempatan yang sama di berbagai bidang.

Orang-orang dengan teori feminisme liberal ini percaya bahwa ketidaksetaraan gender dalam masyarakat terjadi karena adanya pembagian kerja yang tidak adil karena dominasi budaya patriarki dan mereka sepakat bahwa kesetaraan gender dapat dicapai jika diadakan transformasi pembagian kerja mulai dari keluarga, pendidikan, lingkungan kerja dan bidang-bidang kehidupan yang lain.

Oleh karena itu gerak politik perempuan Indonesia dari masa ke masa untuk kepentingannya sendiri atau untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara  tidak bertujuan untuk mendobrak, menggulingkan atau melenyapkan laki-laki dan peranannya melainkan saling melengkapi dengan terciptanya kerja sama yang adil antara laki-laki dan perempuan  dalam berbagai bidang kehidupan tanpa adanya stigma merendahkan posisi perempuan sebagai kelas kedua di masyarakat.

***Penulis adalah Guru Sejarah SMA 1 Paiton, Probolinggo
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang
(UMM)

banner 336x280
banner 728x90
Exit mobile version