banner 728x250

Nomophobia dan Phubbing Dampak Sosial Society 5.0 

Ilustrasi Dampak Sosial Society 5.0 (Sumber: Roman Chazov/Shutterstock)

Perkembangan kebudayaan era modernisasi dan globalisasi saat ini telah membawa manusia masuk kedalam tatanan peradaban baru. Konsep peradaban baru dimana terdapat perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang mengubah pola perilaku sosial masyarakat. Bila merujuk pernyataan Ibnu Khaldum dimana konteks dan substansi peradaban berasal dari ilmu pengetahuan, maka hal tersebut pun dapat diyakinkan kembali dengan wacana yang dijabarkan secara jelas oleh Alfred Weber dimana sebuah peradaban yang mengacu pada pengetahuan praktis dan intelektual disertai dengan cara teknis untuk mengendalikannya.

Secara jelas bahwa konteks dari kehidupan manusia saat ini, terdapat suatu proses sosial dimana pola interaksi yang dilakukan oleh masyarakat maupun perilaku sosial dari masyarakat itu seiring berkembangnya peradaban itu semakin berubah. Era saat ini sangat jelas terlihat terdapat sebuah kecenderungan yang terjadi dimana masyarakat yang bergantung kepada tekhnologi seakan-akan menjadi candu tersendiri. Dalam hal ini dapat kita lihat kecanduan masyarakat dalam menggunakan handphone ataupun smart phone.

banner 336x280

Dalam kajian social psychology fenomena dimana adanya kecenderungan dari beberapa individu yang merasa cemas ataupun risau dikarenakan tidak menggunakan atau bahkan tidak memiliki akses untuk smart phone tersebut dikategorikan dengan sebutan nomophobia (no mobile phone phobia). Gejala sosial ini pun cukup menjadi perhatian serius bagi perkembangan masyarakat modern saat ini. Adanya suatu perasaan dimana merasa risau atau merasa ada yang hilang apabila smart phone tertinggal, hilang, kehabisan baterai atau tidak adanya sinyal. Sejatinya gejala nomophobia ini merupakan dampak dari keterbukaan tekhnologi digital yang berbasis internet.

Di era Society 5.0 saat ini, gejala kesehatan mental seperti nomophobia ini pun semakin kuat. Terlihat di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Yogyakarta, Bandung, Malang dan beberapa kota lainnya, masyarakat yang tercipta seakan-akan tidak lepas dari kemajuan tekhnologi internet, digitalisasi dan penggunaan smart phone. Tentunya bila mengingat akan kebutuhan akan seberapa cepatnya tekhnologi ini dapat menyesuaikan konsep dromologi yang dipaparkan oleh Paul Virilio dengan kondisi kekinian dimana kekuatan tekhnologi, akses internet, serta telekomunikasi yang sangat maju hingga penggunaan artificial intelligence (AI) di era Society 5.0. Hal ini dapat disesuaikan berdasarkan fakta statistik yang dikeluarkan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) dalam katalog “Statistik Telekomunikasi Indonesia 2020”, berdasarkan data survei sosial ekonomi nasional pada tahun 2020 pengguna internet sebanyak 53,73% dari populasi Indonesia. Bahkan capaian rumah tangga di Indonesia yang menggunakan telepon selular mencapai 90,75%.

Dalam hal ini setiap individu dalam masyarakat sudah berpacu dengan kebutuhan dan kecepatan dari akses tekhnologi itu sendiri. Maka dari itu gejala sosial seperti fear of missing out (FOMO) dapat timbul sebagai akibat dari perkembangan ini. Suatu kondisi dimana individu maupun kelompok sosial memiliki rasa kecemasan ataupun ketakutan kehilangan suatu moment tertentu dalam koridor informasi maupun telekomunikasi.

Zombie Society

Masyarakat society 5.0 yang merupakan bagian dari sebuah peradaban baru telah menciptakan sebuah pola phubbing. Perilaku phubbing yang terjadi diakibatkan karena adanya sebuah ketergantungan terhadap sebuah media yang menggunakan kecepatan akses internet.

Jelas saja bila Engine Karadag dalam Journal Of Behavioral Addictions yang membahas mengenaiDeterminantas Of Phubbing, Which Is The Sum Of Many Virtual Addictions: A Structural Equatin Model” menyatakan terdapat perilaku sosial yang dilakukan oleh individu yang dapat mengabaikan komunikasi interpersonal dikarenakan penggunaan hand phone/smart phone. Kehidupan virtual yang dihadirkan dalam bentuk metaverse pun turut mendukung kondisi sosial seperti ini.

Efek sosial yang timbul akibat perkembangan ini pun dapat menciptakan zombie society, dimana terdapat suatu perkumpulan dalam masyarakat yang hidup dan berinteraksi dalam dunia maya, dunia virtual atau sosial media dan mengacuhkan orang-orang disekitarnya. Perilaku sosial ini kerap terjadi bila kita lihat dalam kehidupan saat ini, Contohnya saja ketika beberapa anak muda berkumpul dalam suatu tempat, yang tampak adalah mereka yang sibuk bermain gadgetnya dibandingkan berkomunikasi secara langsung dengan teman bermainnya (peer group). Terdapat pula keseharian dari orang-orang dewasa saat ini yang lebih menggandrungi komunikasi sosial media yang bersifat maya dibanding kehidupan nyata sekitarnya.

Tentunya pola-pola sosial ini bila dikaji secara sosiologi membentuk sebuah degradasi empati dan simpati yang juga merupakan bagian dari faktor-faktor terbentuknya interaksi sosial seperti yang pernah dipaparkan oleh Soerjono Soekanto seorang sosiolog ternama yang berasal dari Indonesia. Tentunya ini juga merupakan bagian dari fenomenologi yang disampaikan oleh Alfred Schutz, dimana adanya dunia sosial itu memiliki suatu hubungan keseharian dan hubungan sosial yang saling berkaitan serta berlangsung didalamnya.

Peningkatan Peran Lembaga Sosial

Simak saja beberapa pola sosial yang terjadi seperti lebih seringnya aktifitas masyarakat yang melihat smartphone, bahkan lebih antusias dengan peristiwa yang terjadi di media sosial dibanding kehidupan nyata disekitarnya, rasa ingin tahu kehidupan pribadi seseorang (keppo atau stalking) sampai kepada gosip-gosip terbaru.

Rentannya degredasi interaksi sosial, moral, hingga terciptanya proses sosialisasi tidak sempurna menjadi tantangan yang akan dihadapi sebagai dampak society 5.0. Untuk itu peran-peran dari lembaga sosial pun harus lebih ditingkatkan. Terlebih kepada lembaga keluarga dan pendidikan.

Lembaga keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam proses sosialisasi pertama sekali, sebab proses sosialisasi pertama itu berasal dari keluarga. Peran orang tua sebagai kontrol sosial dalam menekan, membatasi maupun meminimalisir penggunaan dari smartphone, mobile data dan akses internet. Interaksi secara personal pun secara terus menerus harus dilakukan dengan membiasakan perbincangan tanpa adanya smart phone. Disisi lain, interaksi sosial dengan orang-orang disekitarnya pun baik itu teman bermain harus dibangun.

Lembaga pendidikan sebagi pusat aktifitas dari generasi muda pun turut serta menjadi pondasi dalam membangun pola sosial yang baik, guna menghindari semakin besarnya zombie societyphubbingserta nomophobia. Tidak membiasakan untuk menggunakan smartphone untuk keperluan yang tidak penting selain untuk proses pembelajaran juga harus ditekankan.

Lembaga pemerintah turut berperan aktif dalam memperhatikan pola sosial dalam masyarakat. Dalam hal ini Kementerian Informasi dan Komunikasi juga harus dapat membatasi akses-akses internet maupun digitalisasi bagi remaja-remaja maupun generasi muda. Tayangan-tayangan ataupun konten-konten yang tidak bersifat edukatif dan inovatif harus segera di seleksi dan dipilah sebaik mungkin.

Efek sosial dari perekembangan dari kemajuan tekhnologi informasi dan komunikasi saat ini dapat meruntuhkan nilai-nilai sosial yang baik, yang telah tertanam lama sebagai identitas masyarakat Indonesia. Asas gotong royong, toleransi, tenggang rasa bisa saja dikemudian hari hanya menjadi dongeng-dongeng lawas yang pernah terdengar dalam peradaban baru. Pola sosial yang muncul seperti selfish, individualismtoxic habbit akan hadir menggantikannya.

Penulis : Amrin Pandiangan, S.Pd

Pemerhati Sosial, Budaya dan Politik

Mahasiswa Pasca Sarjana

Program Study : Magister Sosiologi

Universitas Muhammadiyah Malang

No HP: 0856 6407 8018